• Nasional

Masyarakat Sipil Keberatan Penundaan EUDR yang Dinilai Mengancam Deforestasi Indonesia

Imanuel Lodja | Senin, 25/11/2024 06:10 WIB
Masyarakat Sipil Keberatan Penundaan EUDR yang Dinilai Mengancam Deforestasi Indonesia Diskusi The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) bekerjasama dengan Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC). Diskusi bertajuk “Indonesian Civil Society’s Filing of an Objection Letter to the EU Parliament About the EUDR Postponement

KATANTT.COM--Keputusan parlemen Uni Eropa yang menyetujui penundaan selama satu tahun implementasi Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dibahas dalam diskusi The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) bekerjasama dengan Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC).
 
Diskusi bertajuk “Indonesian Civil Society’s Filing of an Objection Letter to the EU Parliament About the EUDR Postponement" ini dihelat di Hotel Des Indes, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2024). 
 
Penundaan ini diputuskan oleh parlemen Uni Eropa melalui mekanisme voting pada 14 November 2024 dan diajukan sebelumnya oleh Komisi Uni Eropa pada 2 Oktober 2024. 
 
Naskah ini kemudian akan dikirim ke Council oleh Parlemen Uni Eropa untuk kemudian disepakati dan akan berlaku mulai 1 Januari 2025. 
 
Berdasarkan data dari Satya Bumi, selain penundaan, Sidang Komisi Eropa juga telah menghasilkan adanya 8 amandemen teks EUDR pada artikel di 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11. 
 
Menurut catatan Satya Bumi, amandemen krusial untuk dikritisi: Peraturan tersebut menetapkan sistem empat tingkatan untuk penilaian negara atau bagian dari negara. 
 
Selain high, low dan standard, maka akan ada kategori keempat yakni no risk category atau ‘Tanpa Risiko’. Kategori negara ‘Tanpa Risiko’ tidak memerlukan due diligence dan& otoritas perlu mengaudit 0,1% impor dari negara-negara ini. 
 
‘Tanpa Risiko’ mengacu pada negara atau bagiannya yang memenuhi kriteria penilaian berikut pengembangan kawasan hutan tetap stabil atau meningkat dibandingkan dengan tahun 1990.
 
Perjanjian Iklim Paris dan konvensi internasional tentang hak asasi manusia dan pencegahan deforestasi ditandatangani oleh negara-negara dan bagiannya, Peraturan yang ditegakkan tentang pencegahan deforestasi dan konservasi hutan di tingkat nasional dilaksanakan secara ketat dengan transparansi penuh dan dipantau
 
Ketua Satya Bumi, Andi Muttaqin dalam diskusi menyatakan penolakannya terhadap penundaan penerapan EUDR. Kata dia, regulasi ini memiliki potensi besar untuk mencegah penggundulan hutan alam, khususnya di wilayah-wilayah yang selama ini terbebani dengan berbagai izin konsesi.
 
“Kami dengan tegas menolak penundaan EUDR, yang diharapkan dapat menjadi instrumen penting dalam mengurangi laju deforestasi di Indonesia sekaligus memperbaiki tata kelola sumber daya alam yang selama ini lemah. Penundaan implementasi EUDR akan menjadi kemunduran signifikan dalam upaya global melindungi hutan,” ucap dia saat mengawali diskusi.
 
Ada tiga alasan utama yang mendasari posisi Satya Bumi. 
 
Pertama, EUDR dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata kelola perkebunan dan kehutanan, yang selama ini masih menghadapi banyak tantangan, seperti korupsi dan transparansi data. 
 
Kedua, kesiapan petani kecil juga perlu dipercepat, sehingga mereka mampu beradaptasi dengan tuntutan keberlanjutan yang diatur dalam EUDR.
 
Ketiga, regulasi ini memberikan tekanan kepada pemangku kepentingan untuk memperkuat kebijakan lingkungan yang selama ini kurang efektif. 
 
Semua poin ini telah Satya Bumi sampaikan secara rinci dalam surat merekakami kepada pihak terkait.
 
Pemerintah Indonesia sendiri menyambut baik keputusan Parlemen Uni Eropa untuk menunda EUDR yang semula akan berlaku mulai awal 2025.
 
Selain Indonesia, penundaan ini juga merupakan desakan dari beberapa negara seperti Malaysia, Austria termasuk Amerika Serikat karena dianggap merugikan kalangan petani berskala kecil (smallholders) dan berkelanjutan terutama di Eropanya sendiri.  
 
Namun, lanjut Andi, regulasi EUDR berpotensi mendorong pemerintah Indonesia memperkuat kebijakan dan tata kelola lingkungan yang selama ini lemah. 
 
Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang secara tegas melarang deforestasi. 
 
Bahkan, penggundulan hutan sering dilakukan secara legal melalui berbagai izin yang diberikan pemerintah. 
 
Kebijakan nasional yang ada justru kerap membuka ruang bagi penggundulan hutan secara sistematis. 
 
Kebijakan semacam ini bertentangan dengan tujuan EUDR dan berisiko merusak reputasi Indonesia di tingkat global dalam hal pengelolaan lingkungan. 
 
“Misalnya, pada tahun 2023, Indonesia memiliki kuota untuk penggundulan hutan. Jadi kebijakan ini tidak memenuhi standar EUDR atau tujuan EUDR,” terangnya.
 
Implementasi EUDR menghadirkan peluang untuk memperbaiki situasi tersebut. 
 
Regulasi ini dapat memaksa pemerintah memperketat kebijakan, meningkatkan transparansi, dan mendorong pelaku usaha serta petani kecil beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan. Instrumen perlindungan hutan seperti Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 sejauh ini belum efektif karena pelaksanaannya tidak transparan, sehingga pelanggaran sulit dikontrol. 
 
Asisten Deputi Direktur Pemasaran Internasional Produk Perkebunan, M. Fauzan Ridha mengatakan Penundaan implementasi Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) memunculkan tantangan baru bagi industri sawit Indonesia, terutama bagi petani kecil. 
 
Salah satu strategi penting yang menjadi andalan pihaknya adalah penerapan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). 
 
Kebijakan ini diambil untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum untuk menindak tegas perusahaan yang sering melakukan aksi ilegal di dalam kawasan hutan hingga merusak deforestasi dan berkonflik dengan masyarakat adat.
 
 "Lokasi, keterlacakan, dan kerahasiaan data adalah kunci utama dalam sistem ini," terangnya.
 
Untuk mendukung implementasi STDB, pemerintah juga mengeluarkan berbagai regulasi, seperti Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 37 Ttahun 2024, yang menjadi landasan percepatan. Prosesnya meliputi pencatatan, pemetaan data berbasis digital, hingga verifikasi mandiri oleh petani. 
 
"Verifikasi ini sangat penting untuk memastikan data akurat, terutama dalam konteks kepatuhan terhadap pasal 9 EUDR yang mensyaratkan keterlacakan informasi," tegasnya  
 
Terkini, tercatat 63.418 kebun STDB telah diterbitkan dengan cakupan wilayah mencapai 499.695 hektar. Namun, angka ini masih jauh dari target.
 
Optimalisasi anggaran juga menjadi bagian dari strategi ini, dengan melibatkan Dana CTO dan sumber pembiayaan lainnya. 
 
"Kami terus berupaya mempercepat proses penerbitan, termasuk melalui kerjasama dengan perusahaan-perusahaan mitra," harap Fauzan. 

FOLLOW US