KATANTT.COM--Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) melayangkan surat terbuka kepada Pemerintah Australia dan Selandia Baru buntut belum tuntasnya penyelesaian kasus petaka Montara Laut Timor yang terjadi 2009 silam serta pencaplokan Gugusan Pulau Pasir
Surat tertanggal 24 April 2025 yang bertepatan dengan Hari Raya ANZAC ini, Ketua YPTB, Ferdi Tanoni mengisahkan kenangan sejarah Perang Dunia II di Timor Barat denfan Australia.
Menurut Ferdi Tanon, selama PD II, Australia mengerahkan Pasukan Sparrow ke Timor untuk mempertahankan diri dari invasi Jepang, yang awalnya difokuskan pada wilayah Belanda di pulau tersebut.
Pasukan tersebut, termasuk Batalyon 2/40, Kompi Independen 2/2, dan detasemen lainnya, ditugaskan untuk mengamankan lapangan udara Penfui dan daerah sekitarnya.
Sementara beberapa pasukan Australia dan Belanda kata Ferdi Tanoni awalnya melawan serbuan Jepang, sebagian besar Pasukan Sparrow akhirnya menyerah, meskipun beberapa berhasil melarikan diri ke Timor Portugis.
"Hari ini, Jumat, 25 April 2025 adalah Hari ANZAC, hari nasional di Australia dan Selandia Baru untuk memperingati semua warga Australia dan Selandia Baru yang telah bertugas dan gugur dalam seluruh peperangan, konflik dan operasi penjaga perdamaian dan kontribusi juga penderitaan dari mereka yang telah bertugas,` ungkapnya.
"Hal ini, benar adanya, dan pada hari ini kami masyarakat di Timor Barat dan Nusa Tenggara Timur mempringati hancurnya Laut Timor dan Laut Sawu yang dihancurkan oleh Pemerintah Federal Australia dan Korporasi PTTEP di Bangkok yang berkantor di Perth Australia Barat," sambungnya.
Mantan agen imigrasi Australia ini menyebut petaka Kasus Montara ini sudah berjalan selama 15 tahun dan 9 bulan serta 4 hari dan telah pulah membunuh mata pencaharian kami lebih dari 100.000 orang.
Secara fisik sebut Ferdi Tanoni telah menciptakan macam-macam sakit penyakit dan membunuh banyak masyarakat kamI, menghancurkan terumbu karang kami puluhan ribu hektar dan lain sebagainya. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang mau/bersedia memperingati-nya.
"Dan kurang lebih telah menghamburkan 80.000 galon minyak mentah bercampaur dengan timah hitam dan zat beracun (dispersan) dalam jumlah yang cukup besar ke perairan Laut Timor dan laut Sawu selama 74 hari untuk tenggelamkan tumpahan minyak mentah diatas permukaan air laut," jelasnya.
Buktinya hingga detik ini tanaman rumput laut di wilayah tersebut hanya memperoleh paling maximum 40% saja dibandingkan dengan sebelum terjadinya Tumpahan Minyak Montara pada tahun 21 Agustus 2009 silam.
"Ditambah lagi dengan hasil penangkapa ikan-ikan yang masih menurun secara drastis oleh para nelayan tradisional Luat Timor. Kemudian PTTEP-PERTAMINA SKK Migas terus bersekongkol untuk mencabut Surat Moratorium Pemerintah RI terhadap PTTEP," tegasnya.
Selain itu Gugusan Pulau Pasir secara sepihak Pemerintah Federal Australia secara sewenang wenang mencaplok wilayah ini. Yang kemudian Pemerintah Federal Australia mengganti nama Gugusan Pulau Pasir dengan sebutan Ashmore Reef.
"Australia membuat berbagai macam aturan-nya di sana serta melarang nelayan kami untuk menangkap ikan di sana bahkan Pemerintah Fedral Australia menangkap dan membakar seluruh perahu nelayan tradisional Indonesia yang berangkat ke Guguan Pulau Pasir," sambungnya.
Ferdi Tanoni mempertanyakan apakah sudah adil Pemerintah Federal Australia dan Pemerintah Thailand di Bangkok terhadap perbuatan ini.
"Kepada Pemerintah Federal Australai dan Tuan Anthony Albanese, Perdana Menteri Australia untuk segera pertanggungjawabkan semuanya ini. Dan kepada Pemerintah Thailand di Bangkok untk segera perintahkan PTTEP segera daang ke Kupang Timor Barat untuk menemui kami
rakyat Indonesia di Nusa Tenggara Timur untuk segera menyelesaikan Kasus Pencemaran Laut Timir tahun 2009 tersebut," pinta Ferdi Tanoni.