• Nusa Tenggara Timur

LBH APIK Sebut NTT Gudang Kekerasan Seksual, KDRT dan TPPO

Anna Djukana | Kamis, 23/01/2025 20:43 WIB
LBH APIK Sebut NTT Gudang Kekerasan Seksual, KDRT dan TPPO Launching Catatan Akhir Tahun 2024 LBH APIK NTT. Direktris LBH APIK NTT, Ansi Damaris Rihi Dara,SH sementara menyampaikan kepada wartawan hasil kerja mereka selama setahun sebagai pertanggungjawaban kerja-kerja LBH APIK NTT kepada publik.

 KATANTT.COM--NTT Gudang kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah kasus yang didampingi LBH APIK dan riset media selama Tahun 2024.

Demikian konprensi pers Catatan Akhir Tahun 2024 LBH APIK NTT yang disampaikan Direktur LBH APIK NTT, Ansi Damaris Rihi Dara, SH, didampingi Koordinator Devisi Pelayanan Hukum, Ester Day, SH, Koordinator Devisi Perubahan Kebijakan, Danny Manu, STh dan staf LBH APIK NTT serta sejumlah media massa, di Kantor LBH APIK NTT, Kamis (23/1/2025).

Disebutkan persoalan TPPO, KDRT dan kekerasan seksual, masih menjadi momok bagi perempuan dan anak di Provinsi NTT. Hal ini tergambar dalam catatan akhir tahun (Catahu) LBH APIK NTT. Setiap tahun LBH APIK NTT meluncurkan catatan akhir tahunnya. Catahu ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada public atas segala aktifitasnya dalam setahun. Selain wujud pertanggungjawaban public.
Catahu juga merupakan dasar bagi advokasi LBH APIK NTT (Evident Based Advocacy) dalam melakukan upaya pengurangan kasus berbasis gender (gender based violent/GBV).

Ansi mengemukakan Catahu yang diluncurkan ini berisi riset terhadap media yang meliput tentang kasus-kasus di NTT, secara khusus khasus GBV. Selain riset media, catahu juga berisi data pendampingan kasus perempuan dan anak yang dilakukan oleh LBH APIK NTT. Dalam catahu ini, Riset media dibandingkan dengan data pengaduan kasus untuk menemukan trend kasus di NTT.

Data riset media menunjukkan bahwa kasus GBV dominan adalah kasus TPPO (20%), diikuti dengan kasus KDRT (18.5%) dan Kekerasan seksual pada anak (15,7%). Mirisnya, TPPO, KDRT dan Kekerasan seksual merupakan kasus dominan dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga nampak pada pengaduan yang masuk ke LBH APIK NTT. Dari total 78 kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT, Kekerasan seksual anak masih menempati urutan pertama yakni 22%, diikuti dengan perceraian 21% dan KDRT 18%.

Hasil riset LBH APIK NTT ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan kasus GBV belum maksimal dilakukan oleh Pemerintah NTT termasuk kabupaten/kota di dalam provinsi NTT. Tingginya kasus TPPO membuktikan bahwa Keputusan Gubernur NTT nomor 357/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Asal Provinsi Nusa Tenggara Timur, tidak efektif. Malah moratorium pengiriman pekerja migran asal NTT ini menimbulkan masalah baru yakni tingginya angka TPPO di Provinsi NTT. Kasus TPPO di NTT berdasarkan riset media terbesar berasa di kota kupang (43%), selebihnya terbagi pada kabupaten Manggarai Timur, Flores Timur, Nagekeo dan Sikka.

Data pengaduan kasus LBH APIK NTT memperlihatkan tingginya kasus perceraian di NTT. Hal ini menjadi “warning” bagi rumah tangga di Provinsi NTT. Data pengaduan kasus LBH APIK NTT juga memperlihatkan adanya korelasi antara tingginya angka perceraian dengan kasus KDRT. Dari total kasus perceraian, 87.5% disebabkan oleh KDRT. Mirisnya lagi, eskalasi KDRT di NTT semakin meningkat menjadi kasus pembunuhan.

Dirincikan Tahun 2024, ada enam kasus pembunuhan yang berlatarbalakang kebencian terhadap gender tertentu (femisida). Ada banyak factor penyebab terjadinya femisida, namun pada kasus di NTT, umumnya, pelaku merasa bahwa perempuan adalah hak miliknya dan harus tunduk pada pelaku sebagai laki-laki atau kepala rumah tangga.

Akibat adanya ‘penguasaan’ ini maka, laki-laki akan melakukan kekerasan terhadap perempuan (istri/pacar) bahkan sampai membunuh. Beberapa kasus femisida di NTT disebabkan pada masalah sepele, seperti belum menyiapkan makanan bagi suami, tidak mengindahkan permintaan suami untuk tidak ke kantor atau mengangkat anjing, sebagaimana kasus yang terjadi di NTT.

Pada kasus kekerasan seksual, anak masih menjadi korban utama. Berdasarkan data pengaduan kasus, 81% kasus kekerasan seksual, korbannya anak. Tahun 2024 ini menunjukan data yang memprihatinkan, di mana guru menempati urutan ke-3 sebagai pelaku kekerasan seksual (18%). Urutan pertama pelaku masih ditempati oleh keluarga (27%) dan teman korban (23%). Gambaran ini menunjukkan bahwa guru sebagai pendidik moral gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Selain itu, keluarga dan lingkungan persahabatan anak, bukanlah tempat yang ramah bagi anak.

Catatan akhir tahun ini memberikan refleksi bagi upaya pemerintah, NGO’s, masyarakat dan stakeholder lainnya agar dapat menyusun strategi yang tepat dalam upaya pengurangan kasus TPPO, KDRT (femisida) dan Kekerasan Seksual. Sinergitas dalam penanganan GBV menjadi kewajiban kita bersama agar kelak, “Gudang TPPO, Kekerasan Seksual dan KDRT” dapat dikosongkan.

Pada kesempatan tersebut Ansi menyampaikan disclaimer soal riset media yang hanya dilakukan pada SKH Pos Kupang saja dimana hal tersebut juga ditanyakan oleh seorang wartawan mengapa tidak melibatkan media online yang jangkauannya lebih luas sampai ke desa-desa Ansi mengemukakan keterbatasan sumber daya membuat riset media hanya dilakukan pada media SKH Pos Kupang dan belum menyentuh media on line, LBH APIK NTT masih akan memilah media on line yang kredibel untuk digunakan sebagai riset media di tahun yang akan datang.

Selanjutnya dikatakan tidak semua kasus yang terjadi di NTT dapat diliput media. Hal ini turut mempengaruhi keakuratan data . Meski demikian riset media ini bisa menunjukkan bahwa realita yang terjadi pada perempuan dan anak bisa lebih dari yang dapat diliput media (model gunung es).

Riset media juga katanya tidak mampu menggali kasus-kasus yang berada di daerah pedesaan , karena hanya bersumber dari hasil liputan wartawan dan seringkali liputan terhadap kasus tidak sampai inkrah. Hal ini berpengaruh pada analisis perkembangan kasus.

Pada kesempatan tersebut wartawan bertanya tentang kasus femisida yang menimpa Mama Maria Mbati Mbana dimana penyidik tidak menerapkan UU PKDRT dengan alasan Mama Maria dan suaminya belum menikah gereja. Selain itu ditanyakan apakah LBH APIK akan mendampingi korban sampai ada keputusan pengadilan.(non)

FOLLOW US