KATANTT.COM--Aparat penyidik Dit Reskrimum Polda NTT mengembangkan penyidikan soal adanya kemungkinan tersangka lain dalam kasus tindak pidana kecelakaan kapal terbakarnya KM Express Cantika 77.
"Kemungkinan tersangka lain masih dalam tahap pengembangan ini. Untuk saat ini baru nahkoda yang menjadi tersangka dan berkasnya P21," ujar Wadir Reskrimum Polda NTT, AKBP Albertus Andreana, SIK didampingi Kabid Humas Polda NTT di Polda NTT, Jumat (9/12/2022).
Penanganan kasus ini dilakukan tim gabungan dari Dit Reskrimum dan Dit Polairud Polda NTT. "Setelah satu bulan kita tangani maka sejak 8 Desember 2022, jaksa menyatakan berkas perkara tersangka nahkoda kapal P21," ujarnya.
Disebutkan kalau saat ini baru nahkoda kapal yang menjadi tersangka karena melanggar aturan. "Ada indikasi ketidak layakan kapal serta adanya konsleting di kapal menjadi alasan utama dan penyebab kapal terbakar," tambahnya.
Kasus ini ditangani polisi sesuai laporan polisi nomor LP/B/336/X/2022/SPKT/Polda NTT, tanggal 25 Oktober 2022 tentang dugaan tindak pidana kecelakaan kapal/terbakarnya KM Express Cantika 77.
Senin (24/10/2022) sekitar pukul 11.10 wita, KM Express Cantika 77 bertolak dari Pelabuhan Tenau Kupang menuju pelabuhan Kalabahi Kabupaten Alor dengan mengangkut penumpang sesuai dengan manifes awal sejumlah 167 orang.
Kapal dinakhodai Edwin Pareda dan 9 ABK kapal yakni Nathan L. Uly Lede (KKM), Defren Jonior Toelaka (Mualim I), Demianus Hendrik Mustamu (juru mudi), Thomas Kakiay (juru mudi), Extrfano Wiliam Thenu (masinis I), Luha Hepe (kelasi I), Matusalak Malese (oiller), Eduard Samuel Porhonowey (kelasi) dan Raymond Gasperzs (oiller).
Setelah kapal bertolak saat itu ada informasi dari agen kepada Demianus Hendrik Mustamu ada penambahan penumpang sehingga jumlahnya sebanyak 226 orang.
KM Express Cantika 77 mendapatkan surat persetujuan berlayar (SPB) dari KSOP Klas III Kupang nomor SPB.IDKOE.1022.0000100 tanggal 24 Oktober 2022.
Dalam pelayaran, sekira pukul 13.20wWita di perairan Naikliu Desa Amfoang Kecamatan Amfoang Utara Kabupaten Kupang tepatnya pada titik koordinat “090 28”15’ S. 1230 46” 39’ E, salah satu ABK Nathan L Uly Lede selaku Kepala Kamar Mesin (KKM) melihat ada kepulan asap di atas atap anjungan kapal (Top Dek) KM Express Cantika 77.
Ia menyampaikan kepada nakhoda Edwin Pareda dan langsung menghentikan kapal. Edwin memerintah ABK agar memadamkan api dengan alat pemadaman api ringan ( APAR) sebanyak 12 botol.
Tidak dilakukan pemadaman dengan menggunakan hydran karena pompa air hydran rusak sebelumnya,sehingga api tetap membakar atap anjungan kapal (Top Dek). Api semakin melebar hingga ke bagian dek kapal lainnya.
Tindakan lain yang dilakukan nakhoda adalah memutar balik kapal dengan kecepatan tinggi menuju daratan terdekat, namun tidak berhasil sampai ke daratan karena semua kabel hendel yang berada di top dek sudah terbakar habis sehingga mesin kapal mati total.
Nakhoda dan ABK memerintahkan kepada semua penumpang untuk meninggalkan kapal dengan cara melompat ke laut menggunakan alat keselamatan life jacket dan life buy.
Selain itu digunakan juga life raft. Saat itu Edwin Pareda sempat mengirimkan video kepada pemilik kapal Johny D3 Queltjo dan menghubungi KSOP Klas III Kupang Bobi Carlos meminta bantuan dengan telepon genggam miliknya karena alat komunikasi pada kapal sudah tidak dapat digunakan (semua kabel telah terbakar).
Atas kejadian tersebut, ada 20 orang penumpang yang meninggal dunia dan penumpang yang hilang sebanyak 17 orang.
Penumpang yang selamat sebanyak 324 orang dari total penumpang secara keseluruhan sebanyak 361 orang.
Hingga saat ini saksi-saksi yang sudah diperiksa sebanyak 31 orang. "Kita juga amankan 45 item barang bukti yang kita serahkan ke jaksa saat pelimpahan," ujar Wadir Reskrimum Polda NTT.
Tersangka Edwin Pareda (50) menjadi tersangka. Ia dijerat pasal 302 ayat (3) jo pasal 117 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja yang diancam dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.