• Nusa Tenggara Timur

Borok Timex PHK Karyawan Dibuka ke Publik, Nakertrans Jangan Tutup Mata

Djemi Amnifu | Sabtu, 02/10/2021 14:03 WIB
 Borok Timex PHK Karyawan Dibuka ke Publik, Nakertrans Jangan Tutup Mata Sabarudin Mahmud

katantt.com--Satu persatu borok harian Timor Express alias Timex dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan (termasuk jurnalis) dibuka ke publik.

Belum tuntas kasus PHK jurnalis Timex Obed Gerimu, justru sejumlah kasus PHK atas karyawan yang lalu, terungkap ke publik yaitu Sabarudin Mahmud dan Putri Kasela.

Kontan saja, terungkapnya borok ini memunculkan spekulasi dan tanda tanya atas kepemimpinan Direktur Utama Timor Ekspress Intermedia, Sultan Eka Putra yang sedang tersandung kasus Hotel Sasando Kupang dan Direktur Timor Ekspress Intermedia, Haerudin yang adalah mantan narapidana di LP Kupang.

Apalagi, Sultan Eka Putra sendiri lebih banyak berada di Makassar-Sulawesi Selatan tengah dipolisikan oleh sejumlah mantan karyawan Hotel Sasando ke Polres Kupang Kota karena diduga menggelapkan pesangon mereka.

Hingga kini baik Sabarudin Mahmud yang bekerja selama 12 tahun sebagai security dan Putri Kasela yang telah bekerja selama 3 tahun sebagai accounting belum menerima pesongan sampai 2021.

Diduga Mafia Peradilan

Fakta menarik terungkap dalam proses perkara hubungan industrial antara Sabarudin Mahmud alias Udin melawan PT Timor Ekspress Intermedia (TEI) selaku perusahaan penerbit harian Timex.

Majelis hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Kupang dalam amar putusannya telah mengabulkan gugatan Sabarudin Mahmud dengan hak-hak yang harus dibayarkan PT TEI sebesar Rp 83 juta lebih.

Sabarudin Mahmud dan PT TEI pun melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI sejak tahun 2017 dan hingga kini belum ada putusannya.

Saat ribut-ribut PHK jurnalis Oebd Gerimu, barulah Martinus Lau, SH, selaku penasehat hukum Sabarudin Mahmud telah melayangkan surat ke MA guna mempertanyakan proses kasasi perkara tersebut.

Mahkamah Agung RI dalam surat balasannya kepada Martinus Lau, memberitahukan bahwa perkara tersebut belum diterima maupun terdaftar di Mahkamah Agung RI.

"Sehubungan dengan surat saudara Martinus Lau, SH., tanggal 20 Mei 2021 Nomor 01/KH-TK/PHI/V/2021 perihal sebagaimana tercantum pada pokok surat. Setelah meneliti dan mempelajari permasalahannya, dengan ini memberitahukan bahwa perkara tersebut belum diterima maupun terdaftar di Mahkamah Agung RI," demikian penjelasan surat MA RI Nomor 346/Pan.3/Pkr/IX/2021 tanggal 1 September 2021 perihal status hukum putusan perkara 13/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Kpg yang ditandatangani Panitera Muda Perdata Khusus, Dr. H. Haswandi, SH.,SE.,M.Hum, MM.

Surat ini juga ditembuskan sebagai laporan kepada Ketua MA RI, Wakil Ketua MA RI Bidang Yudisial, Ketua Kamar Perdata MA RI, dan Panitera MA RI.

Sementara, Panitera Muda PHI Kupang juga telah menyurati Panitera Mahkamah Agung RI.

Surat Nomor: W.26 U/3208/PHI.04.10/IX/2021 tanggal 13 September 2021 perihal mohon bantuan informasi lima perkara PHI pada Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA yang dimohonkan kasasi.

Dalam surat ini, PHI Kupang memohon informasi terkait lima perkara PHI yang telah dikirimkan ke MA RI karena adanya upaya hukum kasasi.

Termasuk di dalamnya adalah perkara dengan pemohon kasasi PT Timor Ekspress Intermedia, dan termohon kasasi Sabarudin Mahmud.

Polemik ini menuai reaksi beragam termasuk dari pakar hukum ketenagakerjaan asal Fakultas Hukum Unwira, Mikhael Feka, SH,MH, yang menilai dengan surat pemberitahuan dari MA RI tersebut, maka perkara Sabarudin Mahmud telah memiliki kekuatan eksekutorial.

"Setelah 14 hari pasca putusan majelis hakim di PHI Kupang, apabila perkara itu tidak dikirim ke tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI maka sudah inkracht dan harus dieksekusi," kata Mikhael.

Dia melanjutkan, jika pemohon atau termohon telah mengajukan kasasi namun perkaranya tidak tercatat atau teregistrasi di Mahkamah Agung RI, maka harus dilaporkan ke Komisi Pengawasan MA RI agar melakukan pengawasan terhadap hal tersebut.

Jika MA RI menyatakan bahwa perkara tersebut tidak dipernah diterima dan teregistrasi maka secara otomatis perkara itu telah berkekuatan hukum tetap.

Menurut dia, apabila berdasarkan surat MA bahwa perkara tersebut tidak teregistrasi kasasinya maka penasehat hukum dari Sabarudin Mahmud dapat mengajukan permohonan eksekusi.

"Artinya perkara itu hanya sampai di tingkat pertama saja dan tidak ada upaya hukum lanjutan. Apalagi perkaranya dari tahun 2017, maka sudah harus dinyatakan inkracht sehingga dapat dilakukan eksekusi sesuai amar putusan PHI Kupang karena telah memiliki kekuatan eksekutorial," jelas Mikhael Feka.

Sementara itu, Martinus Lau, SH., yang diwawancarai, mengaku telah menyurati Mahkamah Agung RI untuk mengecek sejauh mana proses Kasasi perkara kliennya.

"Berkas perkara untuk Kasasi telah dikirimkan sejak tahun 2017, namun hingga saat ini belum ada putusannya. Saya sudah dua kali mengecek ke Mahkamah Agung," kata Marthen.

"Saya sudah melakukan pengecekan, dan kelihatannya apakah berkas ini dikirim dan tertimbun di Mahkamah Agung, ataukah dipermainkan oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang, itu kami belum tahu pasti. Tapi yang jelasnya adalah upaya yang terakhir saya akan ajukan permohonan eksekusi, sehingga bisa diketahui ini masalahnya apa dan di mana," lanjut dia.

Menurut Marthen, dirinya di awal bulan September 2021 akan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Kupang.

Alasannya, lanjut Marthen, karena sesuai resi pengiriman berkas dari pemohon Kasasi yaitu PT Timor Ekspress Intermedia yang diberikan oleh Panitera kepada pihaknya, bahwa berkasnya sudah dikirim ke Mahkamah Agung RI.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam sistem online Mahkamah Agung RI yang saat ini menjadi hal yang umum dan mudah diakses oleh publik kapan saja, perkara ini menurut dia tidak terdaftar sebagai perkara Kasasi.

"Sementara saya sudah bersurat kepada Mahkamah Agung dengan tembusannya Ketua Pengadilan Negeri Kupang. Sudah surati dua kali, sampai sekarang belum dijawab. Entah kemana perkara itu, tapi Panitera Muda PHI menyatakan bahwa berkas itu sudah dikirim dengan berkas lain. Jadi dia sama-sama dikirim dengan berkas lain, yaitu berkas kasasi dari perkara lain di PHI juga," urai Marthen.

"Perkara klien dari rekan advokat Paulus Seran Tahu juga mengalami nasib yang sama. Sampai sekarang belum turun putusan," sambung dia.

Dari tenggang waktu ini, Marthen mempertanyakan proses Kasasi yang menurutnya terlalu lama.

"Ini koq seperti kembali ke tahun 1945 begitu. Padahal akses ke Mahkamah Agung sekarang ini sangat mudah dan transparan. MA kan sekarang ini ada banyak program, ada eCourt dan lainnya. Jadi semua perkara diperlancar tapi koq bisa jadi begini," kritik Marthen.

"Saya dari perkara lain itu dikirim paling lambat 6 bulan sudah turun putusan. Itu sudah paling lambat, terkadang hanya satu bulan sudah dapat pemberitahuan dari Mahkamah Agung bahwa berkas sudah dikirim dan diterima dan register perkaranya nomor sekian-sekian," sambung mantan jurnalis senior di Kupang itu.

Marthen juga merasa aneh, karena perkara kliennya itu dikirim mendahului permohonan Kasasi yang dia ajukan sendiri dengan klien Nurbaya yang juga mantan karyawan PT Timor Express Intermedia yang diberikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Ibu Nurbaya hanya 6 bulan tenggang waktunya langsung turun putusan. Tapi Sabarudin yang dikirim oleh PN terdahulu tidak muncul sampai sekarang," ungkap Marthen sembari menambahkan jika pada bulan Mei lalu dirinya sudah dua kali menyurati Pengadilan namun tidak pernah dijawab.

Marthen Lau, kembali menegaskan, melalui PHI Kupang, dirinya terus mengecek perkembangan proses perkara kliennya di tingkat Kasasi.

"Saya terus koordinasi dengan PHI untuk mengecek perkembangan perkara klien saya. Besar harapan, hak-hak klien saya cepat dibayar sesuai putusan hakim PHI," harapnya.

Diberitakan sebelumnya, manajemen PT TEI sebagai perusahaan penerbit Harian TIMEX kini disorot publik lantaran dinilai kerap bertindak sewenang-wenang terhadap karyawannya.

Tidak sedikit karyawan yang sudah diberhentikan tanpa menerima hak-hak yang sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Adalah Sabarudin Mahmud, mantan karyawan PT Timor Ekspress Intermedia yang mengungkap perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan anak perusahaan Jawa Pos Group di Kupang itu.

Udin, demikian pria 57 tahun itu biasa disapa, kepada wartawan di Kupang, membeberkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh manajemen PT TEI yang kini diawaki Direktur Utama Sultan Eka Putra dan Direktur Haerudin.

Udin yang selama 12 tahun, 2 bulan bekerja sebagai tenaga sekuriti PT TEI diberhentikan tanpa alasan yang jelas pada 1 April 2016.

Saat diberhentikan, Udin mengaku hak-hak sebagai karyawan tidak diberikan sepeser pun.

"Saya diberhentikan secara mendadak. Waktu itu saya sangat kaget, karena tidak ada pelanggaran atau kesalahan yang saya buat. Tiba-tiba saja Manajer Tata Usaha pak Deny Missa antar surat pemberhentian ke rumah saya," ungkap Udin di Kupang, Minggu (29/8/2021) petang.

Tidak terima diperlakukan demikian, Udin pun mengadukan persoalan pemberhentian dirinya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kota Kupang.

Dinas Nakertrans, lanjut Udin, sekira sebulan kemudian barulah mengeluarkan surat panggilan kepada para pihak untuk mediasi.

Selanjutnya, dilakukan mediasi di kantor Dinas Nakertrans sebanyak tiga kali. Dalam mediasi tersebut, Nakertrans juga menghitung besaran hak-hak yang harus dibayarkan oleh PT TEI.

"Saat itu Nakertrans hitung hak-hak saya totalnya Rp 22 juta. Manajemen TIMEX saat itu juga sepakat dan siap membayar. Namun hal itu hanya janji belaka," beber Udin.

Menurut ayah lima anak itu, setelah mediasi di Nakertrans, Udin kemudian mendatangi kantor PT TEI untuk mengambil hak-hak yang sudah disepakati di Nakertrans.

Namun manajemen PT TEI ternyata ingkar janji, dan malah berencana memberikan hak Udin cuma sebesar Rp 10 juta.

"Sampai di kantor Timex, mereka ternyata mau kasih hak saya hanya Rp 10 juta, dengan ancaman jika tidak mau terima, silahkan saya gugat di Pengadilan. Saat itu saya dengan tegas menolak tawaran itu dan menyatakan akan menggugat ke Pengadilan," ungkap Udin yang kini bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya.

Pada 8 November 2016, Udin memberikan kuasa kepada Pos Bakum Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang yang dipimpin advokat A. Luis Balun, SH., dan kemudian melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Kupang dengan total tuntutan hak-hak sebesar Rp 87 juta.

Sebelum sampai ke persidangan, majelis hakim PHI sempat membuka ruang mediasi namun tidak menemukan kesepakatan.

Manajemen PT TEI saat mediasi di PHI, tetap tidak mau melaksanakan kesepakatan sesuai hasil penghitungan Nakertrans, sehingga kasus ini dilanjutkan ke tahap persidangan.

Setelah menjalani lima kali persidangan, pada Desember 2016, majelis hakim memutuskan mengabulkan gugatan Udin sebagai pemohon dengan hak-hak yang harus dibayarkan PT TEI sebesar Rp 83 juta lebih.

Terhadap putusan ini, manajemen PT TEI melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.

Berkas perkara kasasi PHI Nomor 13/Pdt.Sus-/PHI/2016/PN.Kpg dikirimkan ke Mahkamah Agung RI tanggal 13 Juni 2017 sesuai surat PHI ditandatangani Panitera Sulaiman Musu, SH., yang tembusannya juga diterima Udin sebagai termohon Kasasi.

Udin mengaku, pemberhentian dirinya sebagai karyawan PT TEI telah berdampak besar terhadap psikologi dan juga kondisi ekonomi keluarganya.

"Saat pemberhentian itu, dua anak saya terpaksa putus sekolah. Saya sangat berharap hak-hak saya sebagai pekerja yang diberhentikan sepihak segera dibayar sesuai putusan Pengadilan," harap Udin.

"Apalagi saya diberhentikan tanpa kesalahan dan pelanggaran, dan tanpa satu pun teguran lisan maupun surat peringatan," lanjut dia.

Udin juga berharap PT TEI harus menaati aturan hukum yang berlaku dan mengedukasi publik dengan membayar hak-hak karyawan yang diberhentikan, dan bukan mempertontonkan perbuatan melanggar hukum.

FOLLOW US