KATANTT.COM---"Qui non potest solver in aere”. Mengawali tulisan ini, penulis mengutip adagium hukum yang berarti “siapa tidak mau membayar, maka ia harus melunasinya dengan derita badan”. Ungkapan tersebut kiranya relevan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang tidak membayar restitusi terhdap anak korban dan/atau keluarganya.
Bahwa setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang harus dihormati dan dipenuhi oleh siapapun. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan setiap orang bertanggung jawab untuk melindungi Anak dari kekerasan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak secara wajar
Perlu kita pahami bahwa tindak pidana yang melibatkan Anak sebagai korban kejahatan seksual bukan hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup anak namun juga menimbulkan kerugian materiil (yang dapat dihitung) maupun immateriil (yang tidak dapat dihitung) bagi pihak keluarga. Berdasarkan Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menunjukkan, jumlah jenis kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus yang dilaporkan sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, jenis paling banyak dari kasus kekerasan seksual, yakni 10.932 kasus.
Selama ini apabila terjadi tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban kejahatan seksual, pihak korban hanya menanggung sendiri kerugian materiil dan kerugian immateriil antara lain dapat berupa kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, dan/atau kecemasan berlebihan yang bersifat traumatik. Kerugian ini seharusnya juga ditanggung oleh pelaku dalam bentuk restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami anak korban tindak pidana kekerasan seksual.
Pemberian Restitusi kepada anak yang menjadi korban tindak pidana harus dilaksanakan secara tepat, tidak salah sasaran, serta tidak disalahgunakan. Restitusi harus diberikan dan diterima oleh anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual sesuai dengan kerugian dan kondisi anak yang menjadi korban tindak pidana.
PROBLEMATIKA PEMENUHAN RESTITUSI
Banyak pelaku tindak pidana kekerasan seksual menolak untuk membayarkan restitusi terhadap anak korban walaupun pelaku memiliki kemampuan untuk membayar. Hal ini dikarenakan belum adanya sanksi pidana secara tegas yang mengatur pengganti/subsidair restitusi terhadap pelaku yang tidak membayar restitusi. Akibatnya anak korban tindak pidana kekerasan seksual tidak hanya kehilangan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian, tetapi juga merasa tidak mendapatkan keadilan dan pengakuan atas kerugian yang dideritanya.
Sebagai seorang praktisi hukum, Penulis pun mengalami kesulitan dalam melaksanakan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Inkracht), yang memuat pemberian/pembayaran restitusi terhadap anak korban yang mana sebenarnya pelaku memiliki kemampuan secara finansial untuk membayar restitusi.
Hemat Penulis, kondisi demikian terjadi karena belum adanya instrumen hukum positif dalam menentukan sanksi pidana yang tepat bagi pelaku tindak pidana yang tidak mampu atau tidak mau membayar restitusi. Kekosongan hukum ini dapat menimbulkan ketidakadilan bagi anak korban yang tidak mendapatkan ganti kerugian dari pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
POLITIK HUKUM RESTITUSI
Peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui bahwa anak korban dapat memperoleh restitusi. Walaupun hak terebut tidak dapat dinikmati dengan serta merta. Ada banyak tahapan yang harus dilalui sebelum mereka mendapatkan haknya. Mekanisme pengadilan salah satunya, Dimana pengadilan baru dapat memberikan ganti rugi apabila pelaku sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Bagi seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak, setelah perkaranya diadili dan mendapatkan pidana sesuai dengan perbuatannya, kemudian dijalaninya. Lain halnya dengan anak korban kekerasan seksual, selain ia harus mengalami trauma atau beban mental, ia tidak mungkin bisa kembali seperti sedia kala karena beban mental dan trauma yang dia alami juga aib bagi diri anak korban dan keluarganya.
Dalam konteks hubungannya dengan pelaku, restitusi merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab sosial dalam diri si pelaku. Dalam hal ini, restitusi bukan terletak pada kemanjurannya membantu korban, melainkan berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku atas perbuatan pidana (akibat perbuatannya) kepada anak korban.
Di beberapa negara maju terutama negara-negara dengan system hukum Anglo Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan New Zealand, restitusi telah disahkan sebagai salah satu jenis pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Karena itu restitusi telah dapat diterapkan di negara-negara tersebut.
Di Indonesia ketentuan yang mengatur masalah ganti rugi dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 14c KUHP yang menyatakan apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan, maka disamping penetapan syarat umum, bahwa terhukum tidak akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus, bahwa terhukum dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau Sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu.
Lebih lanjut bila diperhatikan, didalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada mengenai korban. kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Kenapa demikian?
Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkret memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban, misalnya dalam hak penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap anak korban atau keluarga anak korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi anak korban dan/atau keluarganya. Rumusan pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Penulis menyadari bahwa hal ini tidak terlepas dari doktrin hukum pidana yang melatar belakangi sebagaimana dikatakan oleh Herbert Packer dan Muladi, bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang dilarang atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana/pemidanaan (punishment). Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik, lingkungan, serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan pertanggungjawaban sebagian didalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya cacat (gila, dibawah umur, dan sebagainya).
Melihat penjelasan diatas, diketahui bahwa pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal, anak korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku.
Dengan orientasi demikian maka perlunya perhatian yang serius terhadap tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban kejahatan seksual. Oleh karena itu kritik terhadap masalah tersebut juga harus disertai alternatif pemecahannya di masa yang akan datang, yaitu:
1) Substansi Hukum (Legal Substance)
a. Aturan tentang pidana pengganti restitusi
Bahwa saat ini belum adanya aturan tentang pidana pengganti restitusi ketika pelaku tindak pidana kekerasan seksual tidak mampu atau tidak mau membayar restitusi kepada anak korban. Oleh karena itu, dalam penanganan tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban kejahatan seksual diperlukan aturan/pedoman pemidanaan tentang pidana pengganti restitusi;
b. Pedoman penyitaan terhadap harta benda milik pelaku
Bahwa dalam beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai korban kekerasan seksual, diketahui bahwa pelaku memiliki kemampuan secara ekonomi/finansial namun kerap tidak mau membayar restitusi terhadap anak korban. Pada poin tersebut hemat Penulis dibutuhkan instrument hukum agar Penyidik/Jaksa dapat melakukan penyitaan terhadap harta benda milik pelaku guna menjamin pelaksanaan restitusi. Penyitaan terhadap harta benda milik pelaku kekerasan seksual tidak terbatas pada ketentuan dalam Pasal 39 KUHP semata.
Lebih lanjut, Penulis selaku Penuntut Umum dalam beberapa tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban kekerasan seksual sering melakukan profiling terhadap terdakwa dari tahap prapenuntutan guna pemenuhan restitusi. Sebagai contoh dalam Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2024/PN Atb, Pengadilan Negeri Atambua yang menghukum terdakwa YNA untuk membayar restitusi kepada anak korban YEM sebesar Rp.6.844.000,00 (enam juta delapan ratus empat puluh empat ribu rupiah) dalam waktu 30 (tiga) puluh hari setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya selaku Penuntut Umum memberikan penjelasan terkait restitusi dan memfasilitasi keluarga Terdakwa untuk membayar restitusi kepada anak korban. Walaupun restitusi dalam perkara a quo telah diberikan kepada anak korban, namun hemat Penulis kedepannya diperlukan payung hukum penyitaan terhadap harta benda milik pelaku dalam perkara-perkara sejenis. Jika tidak maka pelaksanaan restitusi hanya berdasarkan kesukarelaan dari pelaku dan/atau keluarganya.
2) Struktur Hukum (Legal Structure)
Bahwa perlu adanya keseragaman pelaksanaan pemberkasan antar Aparatur Penegak Hukum (APH) baik Penyidik maupun Jaksa, mengingat mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak anak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada kepolisian setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan tindak pidana yang dilakukan. Peran penyidik diawali sejak anak korban melaporkan kasus pidananya. Penyidik wajib memberitahukan dan memfasilitasi anak korban dan/atau keluarganya tentang bagaimana anak korban mendapatkan hak restitusi dari pelaku. Misalnya anak korban dan/atau keluarganya harus mengumpulkan bukti-bukti (pengeluaran-pengeluaran dan pengobatan berupa kuitansi/bon) untuk dapat diajukan sebagai dasar perhitungan restitusi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tulisan ini dibuat sebagai respons atas kegelisahan Penulis akan maraknya kasus yang melibatkan anak sebagai korban kejahatan seksual.
*Penulis: Alfredo J.M. Manullang, S.H., M.H. (Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Belu)*