• Nasional

PP 109/2012 Belum Efektif Turunkan Perokok Anak

Djemi Amnifu | Jum'at, 28/10/2022 11:59 WIB
 PP 109/2012 Belum Efektif Turunkan Perokok Anak Workshop Daring Jurnalis

KATANTT.COM--Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan ternyata belum efektif menurunkan angka perokok anak.

"Untuk mengendalikan rokok, Indonesia memiliki PP 109/2012. Sayangnya, PP tersebut belum cukup efektif menurunkan perokok anak," jelas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Eva Susanti pada Workshop Daring Jurnalis, Peta Jalan IHT: Menakar Arah Kebijakan Cukai Rokok yang digelar AJI Jakarta, Kamis (27/10/2022).

Eva Susanti menyebut PP 109/2012 ini tidak mampu menahan penjualan dan konsumsi rokok di mana 70,2 juta (34,5%) orang dewasa Indonesia konsumsi produk tembakau. Sedangkan pengguna rokok elektrik meningkat 10x lipat dari 0,3% (2011) menjadi 3% (2021).

"Bahkan, pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok 3 x lipat lebih tinggi daripada pengeluaran untuk protein," ujarnya.

PP 109/2012 tidak mampu mengendalikan perokok anak karena akses yang sangat mudah dan murah. Sesuai data 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Karena itu, jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16%

"Biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok 3 x lipat lebih tinggi dari pada cukai yang diterima negara," imbuhnya.

Kemenkes jelas Eva berkomitmen untuk merevisi PP 109/2012 untuk menurunkan prevalensi perokok anak sesuai amanat
RPJMN Tahun 2020-2024. Pasalnya, jika konsumsi rokok terutama pada anak tidak ditekan maka akan menjadi
bom waktu dimasa depan.

"Estimasi Bappenas akan terus meningkat pada tahun 2030 sebesar 16% sehingga target RPJMN tidak dapat tercapai," ujarnya lagi.

Padahal menurutnya, Indonesia sedang mengalami bonus demografi yang akan memuncak di tahun 2030. Di mana 68% populasi usia produktif.

Pertumbuhan usia produktif sangat penting untuk mendorong pertumbuhan GDP/Ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi 8% setiap tahun dapat mencapai GDP per capita negara maju di tahun 2037 (12,680 USD/capita).

"Namun bonus demografi saja tidak cukup, kita perlu meningkatkan produktivitas tenaga kerja kita sebanyak
40%. Kita memiliki perang yang penting untuk memastikan bahwa generasi berikutnya sehat, berpendidikan dan produktif," katanya.

Berdasarkan data jelas Eva, 6 dari 10 penyebab kematian tertinggi Indonesia didominasi oleh penyakit menular, dan rokok adalah faktor risiko ke-2 tertinggi untuk kematian tersebut.

Sementara Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto menegaskan dalam upaya pengendalian konsumsi rokok, Pemerintah Indonesia memiliki 2 instrument yaitu instrument fiskal dan instrument non fiskal sehingga sangat diperlukan sinergitas antara kedua instrument tersebut.

"Kebijakan cukai HT sebagai instrument fiscal, ditujukan untuk mengurangi daya beli masyarakat terhadap rokok, disisi lain negara akan menerima pendapatan dari cukai," katanya.

Menurutnya, pada titik tertentu, kebijakan kenaikan tarif cukai akan dipandang sebagai insentif bagi rokok illegal. Sebab itu, perlu aktualisasi instrument nonfiskal di masyarakat agar lebih menyentuh motif dari merokok (menghilangkan alasan merokok)

Terkait kebijakan cukai hasil tembakau Nirmala Dwi Heryanto mengatakan bahwa ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan di mana kebijakan cukai hasil tembakau diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Kemenkumham.

Sedangkan Direktur Jenderal Industri ArgoKementerian Perindustrian, Putu Juli Andika menambahkan berdasarkan indeks Industri Hasil Tembakau (IHT) sejak 2016 hingga 2021 tercatat bahwa penerimaan cukai IHT terjadi peningkatan tahun 2021 sebesar Rp188,81 triliun dibanding tahun 2020 sebesar Rp170,24 triliun, penerimaan cukai HPTL sebesar Rp 629,29 triliun pada tahun 2021 dibanding tahun 2020 sebesar Rp680,36 triliun.

Pada penerimaan APBN Pusat telah terjadi peningkatan pada tahun 2021 sebesar Rp1.954,55 triliun dibanding tahun 2020 sebesar Rp1.683,48., hanya saja kontribusi cukai IHT terhadap APBD menurun 9,66% pada tahun 2021 dibanding tahun sebelumnya sampai dengan 10,11%.

Workshop Daring Jurnalis, Peta Jalan IHT: Menakar Arah Kebijakan Cukai Rokok ini juga Akademisi UI, Vid Adrison, Ketua harian YLKI, Tulu Abadi dan Penanggap Advokad Senior Fakta, Tubagus Haryo Karbyanto dengan moderator Desca Lidya Natalia.

Peta Jalan IHT ini sendiri tengah dimatangkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian justru banyak menitik beratkan pada pengembangan industri rokok ketimbang penurunan komsumsi rokok di Indonesia.

Dari hasil kajiannya, AJI Jakarta mencatat Hasil _Global Adult Tobacco Survey_ (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.

FOLLOW US