KATANTT.COM--Fenomena pers yang menjadi kaki tangan pengusaha atau lembaga/institusi mendapat perhatian serius dalam Diskusi Publik yang digelar AJI Kota Kupang di Kedai Kopi Petir, Selasa (6/5/2025).
Adalah Direktris Yayasan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur (NTT), Sarah Lerry Mboeik yang mengungkapkan hal ni saat menjadi narasumber pada Diskusi Publik yang mengusung tema Kebebasan Pers di Tengah Gempuran Kecerdasan Buatan & Kekerasan Terhadap Jurnalis.
Lerry Mboeik demikian biasa disapa menyatakan pers yang menjadi kaki tangan pengusaha, satu institusi atau lembaga tertentu, itu bukan pers yang bebas, namun pers yang tertekan dan itu yang jadi ancaman kebebasan pers selama ini.
"Jadi kalau ada pers yang menjadi kaki tangan pengusaha, institusi atau lembaga, itu bukan pers yang bebas, itu pers yang tertekan dan itu yang jadi ancaman selama ini,"tegas Lerry Mboeik.
"Pers itu pengawas publik, bukan pengawas pengusaha, pengawas LSM atau Aparatur, Pers itu pengawas kaum marginal yang haknya dirampok oleh penguasa, dan itu terjadi, maka itu menjadi ancaman," sambung Lerry Mboeik.
Ia mengungkapkan bahwa. kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi, di skala nasional, mulai dari bom molotov ke kantor redaksi, teror kepala babi hingga femisida terhadap jurnalis perempuan.
Sementara di NTT, dalam 3 tahun terakhir juga terus terjadi kekerasan terhadap jurnalis diantaranya, intimidasi dan teror terhadap jurnalis perempuan di Timor Tengah Utara (TTU) Maret 2025, terkait pemberitaan dugaan praktek judi di Mako Yonif RK744/SYB.
Termasuk kasus penganiayaan dan intimidasi wartawan di Manggarai saat liputan demo penolakan Geothermal 2024.
Pengancaman terhadap wartawan Tribunflores di Labuanbajo diduga dilakukan oleh Kapolres Nagakeo, April 2023 (restorative Justice), dugaan pembakaran rumah jurnalis di Belu tahun 2023 setelah menulis soal praktek judi yang diduga dibekingi oknum polisi (penyelidikan).
Serangan terhadap media massa yang menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaanadalah bentuk kekerasan, dimana merupakan upaya pembungkaman sebuah tindak kejahatan pidana," kata Lerry.
Sementara Ketua AJI Kota Kupang, Djemi Amnifu menyebut bahwa kondisi demokrasi Indoesia
sedang tidak baik-baik saja di mana Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) secara nasional terus mengalami penurunan, di mana tahun 2022 yakni 77,88 dan 2023 jadi 71,57 di tahun 2024 turun lagi jadi 69,36.
Tren IKP nasional ini beririsan dengan IKP Provinsi NTT di mana tahun 2022 yakni 78,24 berada di peringkat 22 kategori cukup bebas. Di tahun 2023 turun menjadi 74,78 peringkat 19 dan di tahun 2024 jadi 69,96 dan berada di peringkat 24.
Begitu pun dengan angka kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat. Sesuai catatan AJI di tahun 2022 terdapat 61 kasus, tahun 2023 sebanyak 86 kasus dan tahun 2024 ada 73 kasus. Sedangkan di NTT selama tiga tahun terakhir dari 2022-2024 terdapat 9 kasus.
Untuk pelaku kekerasan/serangan terhadap jurnalis, tertinggi adalah polisi, kemudian TNI, warga sipil, ormas, perusahaan terkait dengan staf/pegawai perusahaan, aparat pemerintah, pekerja profesional, dan pejabat legislatif.
"Data-data tersebut menjadi kilas balik bahwa kebebasan pers merupakan fondasi demokrasi dan hak asasi manusia, AJI Kupang mengajak semua komponen di NTT untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran, tentang tantangan yang dihadapi jurnalis dan media, serta mendorong aksi untuk melindungi kebebasan pers dan independensi media," unkapnya.