• Nusa Tenggara Timur

Derita Pekerja Migran Indonesia Asal Nusa Tenggara Timur

Djemi Amnifu | Rabu, 10/11/2021 09:03 WIB
Derita Pekerja Migran Indonesia Asal Nusa Tenggara Timur Pemandangan miris kediaman korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Desa Oelatimo saat ditemui media ini Selasa (2/11/2021) berhasil menemui orangtuanya, Fredik Rondo (berdiri) di halaman rumah.

KUPANG, katantt.com-Banyak kisah duka dialami pekerja migran asal NTT yang menjadi korban TPPO. Tak sedikit pula yang kehilangan nyawa demi meraih mimpi menjadi pekerja migran di Malaysia. Kisah ini menjadi nestapa bagi para korban yang harus ditanggung seumur hidupnya. Seperti cerita dua perempuan AR dan SM asal Desa Oelatimo Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Saat peristiwa itu terjadi tahun 2017 silam, AR dan SM masih duduk di bangku SMP.

Kisah ini diceritakan kembali orang tua kedua pekerja migran kepada media ini yang ditemui di Desa Oelatimo). "Sejak kasus itu, beta (saya Red) sudah larang AR kerja di Malaysia. Biar kita miskin tapi di sini saja. Saya masih sanggup kasih makan. Saya tidak mau, ada apa-apa lagi dengan Ani seperti dulu. Untung, mereka lari dari tempat penampungan jadi bisa pulang ke sini. Kalau tidak, saya tidak tahu lagi, apakah Ani bisa pulang atau tidak," kata Fredik Rondo, ayah AR dengan dialek Kupang.

Di dalam rumah berdinding bebak dan beratap daun alang-alang berlantai tanah, Fredik Rondo dengan telanjang dada hanya mengenakan celana pendek coklat mengatkan, sejak kasus 2017 lalu, anaknya mengalami trauma hingga kini. Akibatnya, anaknya yang kala itu masih duduk di bangku kelas 3 SMP Oelatimo menolak untuk menyelesaikan studi. Rasa malu dan takut membuat anak pertama dari empat bersaudara ini memilih membantu kedua orang tuanya di kebun. 

"Dia masih takut, jadi tidak mau lanjut sekolah. Saya juga tidak paksa dia. Jadi selama ini hanya bantu saya kerja kebun. Baru bulan lalu, AR mau ikut saudara di Kupang (Kota Kupang red) untuk bekerja di toko (pramuniaga Red). gajinya tidak seberapa yang penting dekat-dekat sini, jadi kalau ada apa-apa saya bisa langsung pi (pergi) lihat dia," kata Fredik.

Sebagai seorang petani, Fredik bersama istrinya, Welmintje Tose, mengaku penghasilan tidak seberapa sehingga harus bekerja sampingan mengumpulkan hasil bumi lainnya seperti mengumpulkan asam dan kemiri kemudian dijual. Hasil kebun, hanya cukup kebutuhan makan sehari-hari. Itu pun masih kurang, karena ada istri dan tiga anaknya yang lain yang harus ditanggung. "Covid-19 kemarin, kita tertolong dengan bantuan dari pemerintah, kalau tidak saya tidak tahu harus kasih makan apa keluarga saya," ujarnya.

Ada pula cerita RO, ibunda dari SM yang mengaku saat anaknya dibawa ke Medan untuk dikirim ke Malaysia. Saat kejadian itu, Rahel masih bekerja di Malaysia sebagai pekerja migran. Selama tujuh tahun bekerja di Malaysia, secara ekonomi, Rahel Olla sangat membantu kebutuhan keluarga. Termasuk membangun sebuah rumah permanen yang layak huni untuk ukuran masyarakat di Desa Oelatimo. "Waktu kejadian itu, saya tidak tahu. Nanti abis kontrak tahun 2018 pulang ke sini baru saya tahu. Karena itu, saya tidak lanjut kontrak ke Malaysia biar bisa urus keluarga. Saya juga bantu urus, SM untuk ganti saya kerja di Malaysia yang resmi," aku Rahel Olla.

Rahel kemudian meminta SM melanjutkan pendidikan di SMP Oelatimo. Setelah tamat langsung didaftarkan sebagai calon pekerja migran di salah satu perusahaan pengirim pekerja migran ke luar negeri di Kota Kupang. Hampir setahun, anaknya menjadi pelatihan di balai latihan kerja milik perusahaan tersebut sebelum akhirnya diberangkat ke Malaysia sebagai asisten rumah tangga.

Sudah hampir dua tahun anaknya bekerja di Malaysia dengan kontrak selama dua tahun sejak 2020 dan baru berakhir Februari 2022 nanti. Selama di Malaysia, mereka saling kontak lewat telepon milik majikan karena anaknya memang tak dijinkan memegang handphone. Saat suaminya, Kornelis Missa meninggal pada April 2021 lalu, tidak diinformasikan ke SM di Malaysia. "Saya takut, kalau saya kasih tahu, nanti dia pikiran macam-macam dan minta pulang. Padahal kontraknya tinggal beberapa bulan lagi, jadi biar saya tahan-tahan diri tidak kasih tahu," kata Rahel Olla, sambil menyeka air mata yang mengalir ke pipinya.

Rahel mengaku, kondisi ekonomi membuat dirinya dan anaknya harus bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga. Hasil kerja dari bertani tak bisa diharapkan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kalau pun lebih hanya mampu untuk satu dua bulan ke depan. Selebihnya, mereka kesulitan dan bertahan hidup dengan apa yang ada. "Pak lihat sendiri, kalau hanya harap kebun, tidak cukup. Apalagi untuk bangun rumah. Saya bisa bangun rumah ini hasil bekerja di Malaysia," akunya.

Peristiwa 2017 silam yang melibatkan anaknya menjadi sebuah catatan dalam kehidupan Rahel Ola untuk mengajak keluarga lain agar menggunakan jalur resmi bila ingin bekerja di luar negeri. Informasi ini pun disampaikan pemerintah desa setempat dan pihak gereja. Memang masih ada satu dua oknum, yang secara sembunyi-sembunyi mengajak anak-anak muda bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi. "Pelaku masih keluarga, mereka ini hanya mau cari untung dengan cara gampang," katanya.

Lain lagi, dengan yang dialami pekerja migran SB, pekerja migran asal Desa Laob Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang dipulangkan dari Malaysia tanpa gaji. Selama dua tahun bekerja SB tak pernah diberi gaji karena bekerja secara nonprosedural. SB mengaku, semua dokumen atas nama dirinya di urus di Medan-Sumatera Utara oleh perekrut sebelum dikirim ke Malaysia melalui jalur laut. Sempat ditampung di tempat penampungan di Malaysia sebelum akhirnya dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga di salah satu majikan di Selangor Malaysia.

"Dua tahun, saya kerja percuma tidak digaji sampai akhirnya dipulangkan. Semua gaji langsung dibayar ke agency tanpa diberikan ke saya," akunya. Ia menyebut, kasus ini sudah dilaporkan ke aparat berwenang namun karena proses pengiriman oleh agency yang tidak dikenal sehingga sulit dilacak. 


*Liputan ini merupakan hasil Fellowship yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama International Labour Organization (ILO) dan dimentori oleh Mustafa Silalahi.

 

 

FOLLOW US