• Nusa Tenggara Timur

Sehari Tiga Jenazah Pekerja Migran Non Prosedural Asal NTT Dipulangkan dari Malaysia

Djemi Amnifu | Rabu, 10/11/2021 08:11 WIB
Sehari Tiga Jenazah Pekerja Migran Non Prosedural Asal NTT Dipulangkan dari Malaysia Satu dari tiga jenasah Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal Nusa Tenggara Timur yang dipulangkan dari Malaysia saat dikeluarkan dari Terminal Kargo Bandara El Tari-Kupang, , Rabu (27/10/2021).

KUPANG, katantt.com--Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang masih terbelenggu dengan masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Meski berbagai upaya pencegahan sudah dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota namun belum membuahkan hasil signifikan. Hampir tiap minggu, selalu saja ada pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang dikirim pulang baik dalam keadaan hidup atau cuman jasad saja. Kebanyakan dari mereka berstatus PMI nonprosedural.

Media ini berkesempatan mengikuti penjemputan tiga jenazah pekerja migran asal NTT dari Malaysia pada Rabu 27 Oktober 2021 di Terminal Kargo Bandara El Tari Kupang. Ironisnya, ketiga jenazah ini merupakan pekerja migran nonprosedural atas nama Siprianus Pake asal Desa Kurulimbu Kecamatan Ndona Timur Kabupaten Ende Pulau Flores. Jenazah tiba pukul 09.45 Wita menggunakan pesawat Lion Air dan langsung dibawa ke kampung halamannya melalui laut menggunakan kapal ferry milik PT ASDP (Persero) Cabang Kupang.

Dua jenazah lain berasal dari Kabupaten Malaka yaitu Gasper Klau dari Desa Forekmodok Kecamatan Weliman dan Adriano Pareira dari Desa Lakekun Kecamatan Kobalima. Mereka tiba pukul 12.35 Wita menggunakan pesawat Garuda Indonesia Airlines. Kedua jenazah ini kemudian dikirim langsung ke kampung halaman di Kabupaten Malaka menggunakan dua mobil jenazah melalui jalan darat menempuh jarak sekitar 375 kilometer.

Tangis haru keluarga tak terbendung begitu peti jenazah keluar dari Terminal Kargo Bandara El Tari Kupang. Peti jenazah kemudian dinaikkan ke atas mobil jenazah yang disiapkan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah NTT. Sejumlah petugas Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) dari Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Keuskupan Agung Kupang ikut menjemput sekaligus mendokumentasikan pemulangan jenazah pekerja migran asal NTT ini.

Wenslaus Jando Wowa, salah seorang kerabat korban mengaku mendapat tugas membawa jenazah kerabatnya ini ke kampung halamannya. Wens demikian biasa disapa, lebih banyak diam sambil membantu mengemas peti jenazah kerabatnya bersama Piter, petugas BP2MI NTT yang tugasnya memang khusus menjemput jenazah pekerja migran di Terminal Kargo Bandara El Tari. "Saya hanya ditelepon saudara dari kampung jemput kakak Sipri (Siprianus Pake Red) di bandara kemudian bawa ke Ende pakai kapal ferry. Kalau tidak salah, sudah lama sakit lever dan baru meninggal di Malaysia," kata Wens.

Ia tak mengetahui secara persis keberadaan kerabatnya itu di Malaysia. Ia hanya tahu almarhum sering membantu saudara-saudaranya yang tak mampu di kampung halaman dengan mengirim uang guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Bapatua (Bapak Red) sudah lama di Malaysia. Sudah sekitar 7 tahun di sana. Bapatua ikut saudara yang sudah duluan kerja di sana, jadi memang tidak tidak punya dokumen. Istri dan anaknya juga masih di Malaysia . Mereka masih urus dokumen untuk pulang ke sini. Ada banyak saudara-saudara yang kerja di Malaysia setelah ada saudara yang berhasil di sana," kata Wens.

Sambil sesekali menyeka keringat di dahinya, Wens yang masih kuliah semester 7 di Universitas Terbuka di Kupang  terus membantu membungkus peti jenazah berisi jenazah kerabatnya menggunakan plastik transparan. Selang 15 menit, kemudian Wens meminta ijin kepada Piter, petugas BP2MI untuk pergi ke loket rapid test di bandara El Tari Kupang. Usai menjalani tes, Wens naik ke atas mobil jenazah bersama Piter, petugas BP2MI berangkat menuju Pelabuhan Bolok.

Wens mendapat tugas dari keluarga untuk membawa jenazah kerabatnya ini dengan kapal ferry mengarungi Laut Sawu selama semalam dari Kupang Pulau Timor ke Ende di Pulau Flores. "Di sana (Ende) keluarga sudah tunggu, jadi nanti dibawa ke rumah orang  tua selama semalam baru besoknya di makamkan," ujarnya.

Dua peti jenazah lainnya yaitu Gasper Klau dan Adriano Pareira juga dibawa ke tempat khusus jenazah untuk dibungkus lagi dengan plastik transparan sebelum dinaikkan ke mobil jenazah untuk dibawa ke kampung halamannya di Malaka. Saking banyaknya, jumlah jenazah pekerja migran asal NTT dari Malaysia, membuat otoritas Bandara El Tari Kupang harus membangun Tempat Khusus Jenazah di sisi kanan terminal kargo dengan ukuran 6 x 6 meter persegi tanpa sekat dengan sebuah tempat seperti meja di tengah sebagai tempat penyimpanan peti jenazah.

Kepulangan tiga jenazah PMI non prosedural ini menambah panjang daftar PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri. Sesuai catatan UPT BP2MI Wilayah Nusa Tenggara Timur jumlah jenazah PMI yang meninggal per Januari-Oktober 2021 berjumlah 106 orang terdiri atas laki-laki 73 orang dan perempuan 33 orang. "Semua jenazah PMI ini nonprosedural, Namun dalam pelayanan, kami tidak membedakan antara PMI yang prosedural dan nonprosedural," ujar Kepala UPT BP2MI NTT, Siwa kepada media ini pekan lalu.

Di masa pandemi Covid-19 kata Siwa, masih saja ada jenazah pekerja migran asal NTT yang dipulangkan dari Malaysia. Sesuai data tahun 2020 jenazah PMI yang dikirim pulang sebanyak 87 orang terdiri dari laki-laki 59 orang dan perempuan 20 orang. Dari jumlah ini yang dikirim resmi hanya 10 orang sedangkan sisanya 77 orang dikirim secara nonprosedural.

Sedangkan tahun 2019 sebanyak 119 jenazah yang dipulangkan yaitu laki-laki 92 orang dan perempuan 27 orang. Dari jumlah ini hanya 2 orang yang dikirim secara resmi sedangkan sisanya 117 orang nonprosedural. Jumlah pekerja migran yang meninggal tersebut meningkat dibanding tahun 2018 yang tercatat sebanyak 115 jenazah. "Jumlah ini, belum termasuk jenazah yang telah dimakamkan di Malaysia," ujarnya.

Siwa menyebutkan bahwa sejak Januari-Oktober 2021, sebanyak 106 pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT, meninggal di luar negeri. Ironisnya, dari 106 PMI tersebut, semuanya nonprosedural alias tanpa dokumen resmi.

Menurut dia, rata-rata jenazah pekerja migran nonprosedural yang dipulangkan akibat dari migration culture yang sudah berlangsung lama. Kultur inilah yang membuat para pekerja migran enggan bekerja di luar negeri (Malaysia Red) secara prosedural. "Jauh sebelum NTT terbentuk, sudah ada migrasi dari saudara-saudara kita yang di Flores. Jadi memang sangat sulit diubah sehingga butuh kerja keras dan kerja bersama semua pihak," tegasnya.

Pun begitu, Siwa tak menampik bila sejumlah pekerja migran yang meninggal di luar negeri merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dan TPPO ini merupakan masalah bersama bukan hanya menjadi masalah pemerintah karena itu penyelesaiannya pun harus dilakukan bersama melibatkan semua stakeholder guna mengungkap jaringan TPPO di NTT.

Penyelesaian TPPO di NTT tidak bisa dilakukan secara parsial namun secara bersama-sama. Termasuk dalam membangun kesadaran masyarakat menggunakan jalur resmi jika ingin bekerja di luar negeri. Menjadi pekerja migran dan bekerja di luar negeri demi memperbaiki ekonomi keluarga dan masa depan bukan sesuatu yang tabu atau haram. Akan menjadi haram, jika proses untuk bekerja di luar negeri sebagai PMI dilakukan dengan cara nonprosedural alias melawan hukum.

Kebijakan Moratorium Pengiriman PMI

Jauh sebelumnya, sejak tahun 2017 silam, pemerintah sudah menetapkan Propinsi NTT sebagai zona merah perdagangan orang. Korban perdagangan orang dari NTT menempati ranking teratas, disusul daerah zona merah yang lain yakni Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sesuai laporan Kepala Dinas Koperasi, Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT, Sylvia R. Peku Djawang, menyebutkan bahwa pekerja migran nonprosedural dengan modus perdagangan orang yang digagalkan keberangkatannya, sebanyak 519 (tahun 2017), 1.379 orang (tahun 2018) dan 816 di tahun 2019.

Pemerintah Provinsi NTT mengklaim telah melakukan serangkaian tindakan dalam upaya memberantas perdagangan orang. Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat telah menghentikan pengiriman sementara (moraturium) melalui Keputusan Gubernur NTT nomor 357/KEP/HK/2018 tgl 14 November 2018 tentang Pemberhentian Pemberangkatan Calon PMI/PMI asal NTT ke luar negeri dan nomor 358/KEP/HK/2018 tanggal 14 November 2018 tentang pemberhentian calon tenaga kerja AKAD (Antar Kerja Antar Daerah) asal NTT keluar.

Selain itu Pemprov NTT telah membentuk Gugus Tugas melalui keputusan Gubernur NTT nomor 24/KEP/HK/2019 tanggal 15 Februari 2019 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang dan Calon Pekerja Migran Indonesia serta calon TK AKAD nonprosedural di NTT. Gubernur NTT juga telah menandatangani MoU dan perjanjian kerja sama antara dengan PT. Angkasa Pura dan Lanud El Tari pada 25 Maret 2019. Menandatangani MOU dengan para bupati/walikota terkait penanganan penempatan dan perlindungan tenaga kerja pasca moraturium di Kupang, 8 Mei 2019 serta pembentukan Tim Satgas di 10 kabupaten guna penanganan di pintu masuk/keluar NTT, bandara dan pelabuhan laut.

Kebijakan Pemprov NTT mendapat beragam reaksi dari sejumlah lembaga yang selama ini konsen berjuang mencegah TPPO di NTT. Pendeta Emmy Sahertian, pemerhati masalah pekerja migran dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengatakan moratorium berpotensi tidak mengakhiri permasalahan dan justru memunculkan masalah baru. Hasil penelitian GMIT bekerjasama dengan Zero Human Trafficking Network, lembaga Mensen Met Een Missie dan Migrant Care menyebutkan bahwa efektivitas dan signifikansi kebijakan moratorium sebagai strategi pemberantasan persoalan pekerja migran yang di dalamnya termasuk praktik-praktik perdagangan orang sangat bergantung dengan penyikapan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.

Intinya, sebut Pendeta Emmy Sahertian, adalah bagaimana kebijakan tersebut mendorong sikap masyarakat terhadap situasi permasalahan yang terjadi. Peninjauan terhadap dampak kebijakan terhadap sikap masyarakat atas praktik perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur menjadi penting untuk dibahas. "Sayangnya, rencana waktu penelitian dan agenda penelitian yang rencananya dilakukan dari Desember 2019-November 2020, mengalami penundaan karena pandemi Covid 19," jelasnya.

Menurut dia, dalam tahapan survei, pengumpulan data dilakukan di 16 desa dari 8 kecamatan yang tersebar di tiga kabupaten/kota yaitu Kota kupang, Sikka dan Manggarai Barat dengan sampel bertingkat (stratified sampling). Hasil pengukuran terhadap sikap masyarakat yang dilakukan melalui survei kepada 1173 responden (505 laki-laki dan 668 perempuan) di tiga wilayah penelitian Kota Kupang, Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Sikka menunjukkan sejumlah temuan yang menggambarkan bagaimana kesadaran kritis dan sikap masyarakat terhadap perdagangan orang sesuai dengan konteks situasi dan wilayah masing-masing.

Secara umum kata dia, pengetahuan masyarakat masih terbatas terkait perdagangan orang yang mana salah satu penyebab rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perdagangan orang adalah masih lemahnya sosialisasi. Sebagian masyarakat belum memiliki kesadaran dan sikap kritis merespons praktik perdagangan orang. Sedangkan dua wilayah (Kota Kupang dan Kabupaten Sikka) menunjukkan derajat yang cukup tinggi dalam pengetahuan tentang perdagangan orang yakni Kota Kupang = 80,9% mengetahui, Kabupaten Sikka =62,6% mengetahui. "Hal ini berbeda dengan Kabupaten Manggarai Barat, di mana 56% responden tidak mengetahui perdagangan orang," katanya

Survei tersebut juga menyebutkan bahwa pengetahuan secara lebih spesifik terkait dengan sumber informasi tentang perdagangan orang menunjukkan derajat yang dominan dari peranan media massa dan media sosial sebagai agen informasi tentang perdagangan orang. "Isu perdagangan orang dan aktivitas sosial politik warga dalam agregasi gender. Dalam pengukuran pengetahuan masyarakat berjenis kelamin perempuan memiliki derajat kecenderungan yang lebih tinggi pada aspek pengetahuan tentang perdagangan orang dan aktivisme dalam organisasi sosial, politik, keagamaan. Laki laki 59% tidak tahu, sementara perempuan 55% mengetahui," jelas Pendeta Emmy lagi.

Dalam survey ini pun terungkap jika sebagian besar responden menilai moratorium tersebut tidak melanggar hak masyarakat, namun pemerintah perlu menyediakan lapangan kerja. Survey juga menunjukkan bahwa ada derajat yang tinggi yang menyatakan setuju bahwa walaupun ada keterdesakan ekonomi semua orang tanpa memandang umur bisa bekerja ke luar negeri. Begitu pun ada kesadaran pada masyarakat bahwa anak-anak tidak boleh menjadi pekerja migran.

"Dalam salah satu kesimpulan survey tergambar jelas bahwa moratorium penempatan pekerja migran di Nusa Tenggara Timur tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk mengurai dan memutus praktik perdangangan orang yang masih marak di propinsi ini, karena tidak adanya upaya-upaya perbaikan dalam tata kelola dan peta jalan penanggulangan perdagangan orang yang konkret," pungkasnya.

GMIT sebut Emmy, melihat masalah pekerja migran sebagai sebuah masalah kemanusiaan apalagi sebagian besar yang menjadi korban adalah warga GMIT. Karena itulah gereja (GMIT) terpanggil untuk membela dan melindungi warganya dan membantu pemerintah mencegah praktek TPPO. Salah satu dengan melakukan penelitian untuk membaca trend migrasi pekerja migran asal salah satu klasis GMIT yaitu Klasis Amanuatun Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan.

"Penelitian ini dilakukan secara mandiri berdasarkan semangat kerelawanan dan cinta kasih terhadap sesama. Penelitian ini melibatkan berbagai relawan dari lingkup jemaat hingga kerjasama oikumene dengan jaringan dari Gereja Katholik selama  rentang bulan November dan Desember 2017 lalu," ujarnya.

Dari penelitian ini kata dia, ditemukan bahwa trend tertinggi adalah migrasi anak dan pemuda, usia migrasi 15-29 tahun mencapai 56,1%. Kemudian usia tertinggi saat migrasi usia 20-24 tahun atau 23,2% dan usia tertinggi kedua datang dari irisan usia anak menjelang dewasa 15-19 tahun yaitu 17,2%. Selain itu diperoleh data rata-rata migrasi ke luar negeri berpendidikan SD 31,7%, SMP 11%, SMA 13% dan tidak tamat SD 9%. Penelitian ini diketahui terbayak bekerja di luar negeri karena diajak yaitu 61,79% sisanya pergi begitu saja 22,3%, kemauan sendiri 5% dan 0,6% melalui PTJKI dan sisanya tidak tahu. Diketahui pula tiga alasan utama pergi bekerja ke luar negeri yaitu membantu ekonomi keluarga 52,55%, mencari hidup sendiri 26,76% dan tidak menjawab 9,66%

NTT Surga Pelaku TPPO

Koordinator Divisi Advokasi Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, Paul Sinlaeloe menyebutkan faktor utama TPPO di NTT akibat tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja. Selain itu, rendahnya pendidikan mengakibatkan masyarakat mudah terjebak dalam tindakan praktek perdagangan orang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku maupun korban. "Kesadaran dan pemahaman hukum terkait Undang Undang TPPO yang belum memadai baik pada level eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun pada tataran masyarakat kebanyakan," kata Paul.

Secara blak-blakan, Paul Sinlaeloe menyebut bahwa Provinsi NTT dengan kondisi geografis kepulauan menjadi surga bagi para pelaku TPPO. Menurut Paul, sejak 2010-2020, PIAR NTT telah mengadvokasi 57 kasus TPPO dengan korban sebanyak 1.103 orang. Rinciannya perempuan 220 orang dan laki-laki 883 orang. "Dari 1.103 orang korban TPPO yang didampingi oleh PIAR NTT sepanjang tahun 2010-2020 ini, terdapat 734 orang di antaranya berusia dewasa, sedangkan yang berusia anak sebanyak 369 orang," jelasnya.

Menurut Paul, merajalelanya perdagangan orang di NTT karena pemerintah provinsi sampai pemerintah desa, beserta jaringan terkait seperti BP2MI, APJATI dan gugus tugas TPPO, tidak mampu melakukan pencegahan, dengan membiarkan tetap berjalan sistem pengelolaan ketenagakerjaan mulai dari rekruitmen tenaga kerja, prapenempatan, penempatan, hingga purna penempatan. Karena itu Paul Sinlaeloe meminta keseriusan Pemda NTT (pemprov, pemkab/pemkot) agar segera memberlakukan darurat human trafficking. Jika tidak maka kasus serupa akan terulang dengan korban yang terus bertambah. "Ini adalah kejahatan extra ordinary crime yang harus ditangani secara serius. Meski sudah ada proses hukum terhadap pelaku human traffciking namun kasus yang sama selalu terulang," beber Paul.

Ia menilai TPPO di NTT berjalan secara masif karena kasus yang sama selalu terulang dengan modus yang sama. Padahal, berbagai jaringan human trafficking di NTT telah diberangus sesuai perintah dari Presiden Joko Widodo. "Tahun ini saja, sudah 106 jenazah pekerja migran asal NTT yang dikirim pulang dalam keadaan meninggal dunia. Kita minta keseriusan Pemda NTT baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk memberlakukan darurat human trafficking," tegasnya.

PIAR NTT kata Paul, mendukung penuh langkah Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, yang di awal kepemimpinan telah mengeluarkan kebijakan moratorium pengiriman pekerja migran. Sayangnya, hal ini tak diikuti perbaikan m sistem. TPPO sebut Paul sebagai kejahatan extra ordinary crime yang harus ditangani secara serius. Meski sudah ada banyak kasus yang diproses hukum terhadap pelaku human traffciking namun kasus yang sama selalu terulang.

Salah satu jenasah dari tiga jenasah <a href=Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal Nusa Tenggara Timur yang dipulangkan dari Malaysia sementara disimpan sementara di Tempat Jenasah Terminal Kargo Bandara El Tari Kupang sebelum dikirim ke kampung halamannya, Rabu (27/10/2021)." width="100%" />PIAR NTT kata dia, merilis upaya pencegahan TPPO dengan melakukan pendekatan berbasis masyarakat (community based approach). Pendekatan ini dapat dipahami sebagai segala upaya yang dilakukan melalui pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam mencegah TPPO. Jadi, mengapa masyarakat harus berperan serta dalam pencegahan TPPO selain karena menjadi tanggung jawab kemanusiaan sebagaimana diamanatkan dalam UUTPPO. "Keterlibatan masyarakat ini demi meluaskan dukungan sebuah gerakan pencegahan, tetapi memenuhi hak dan demokrasi. Sebab masyarakat adalah pilar terdepan yang langsung berhadapan dengan kebijakan kriminal (criminal policy) terkait pencegahan TPPO," imbuhnya.

Sementara Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat kepada puluhan jurnalis di Kupang, Kamis 4 November 2021 memberi dukungan penuh sesuai kewenangannya kepada terhad berbagai upaya pemberantasan TPPO di NTT. Menurutnya, banyak sekali warga NTT yang keluar mencari kerja di luar negeri dan tak sedikit yang pulang dan membawa kabar keberhasilannya. Namum sedikit sekali yang mau memceritakan tentang kesulitan dan penderitaannya.

Viktor mengakui jika masalah kemiskinan memberi andil dalam kasus human trafficking karenanya kemiskinan mesti ditangani. Untuk menangani masalah kemiskinan di Indonesia dan NTT, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya. "Harus didesain pembangunan tingkat desa, APBD kabupaten/kota, provinsi, melalui dana desa dan berbagai sumber anggaran total Rp 43 triliun sedang didesain fokus ke program dalam rangka pemberdayaan masyarakat," ujar Viktor Laiskodat.

Upaya pemberantasan TPPO di NTT pun datang dari Polda NTT seperti diungkapkan Kabid Humas, Kombes Pol Rishian Krisna Budhiaswanto  Kapolda NTT Irjen Pol Lotharia Latif berjanji menindak tegas pelaku TPPO termasuk semua pihak yang terlibat. Selama tahun 2021 ini jelas dia, Polda NTT menangani 9 kasus TPPO di mana 1 kasus dinyatakan lengkap alias P21, 4 kasus dalam penyidikan dan 4 kasus sementara dalam penyelidikan.

"Jajaran Polda NTT tetap berkomitmen mengusut tuntas setiap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang baik yang dilaporkan di tingkat Polsek, Polres maupun Polda NTT. Komitmen ini merupakan perintah langsung bapak Kapolda NTT memerangi TPPO yang marak di NTT," tegas Kabid Humas Polda NTT, Rishian Krisna Budhiaswanto kepada media ini, Senin, 8 November 2021.

Selain melakukan penindakan jelas Rishian, Polda NTT melakukan upaya pencegahan dengan melakukan sosialisasi bahaya bekerja di luar negeri secara non prosedural. Sosialisasi ini dilakukan bahkan dilakukan sampai ke tingkat paling bawah oleh Babinkamtibas di tingkat kelurahan/desa. Polda NTT pun mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dengan melaporkan setiap mobilitas warga yang dicurigai hendak merekrut pemuda/pemudi bekerja di luar NTT. "Anggota kita di lapangan akan langsung melakukan cross shek dan mengambil tindakan preventif bila ada indikasi oknum yang mau merekrut pekerja migran di daerah-daerah," ujarnya.

Soal dugaan keterlibatan oknum anggota Polri dalam jaringan mafia TPPO, Rishian Krisna meminta bantuan masyarakat supaya melaporkan kepada pihaknya. Polda NTT tidak menutup diri terhadap oknum anggota yang terbukti melakukan pelanggaran. “Sanki tegas kan kita berikan,. Tahun ini saja, sudah 11 anggota Polda NTT yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan pelanggaran. Silahkan laporkan, Bila cukup bukti pasti akan kita proses,"  tegas Rishian Krisna. 

*Liputan ini merupakan hasil Fellowship yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama International Labour Organization (ILO) dan dimentori oleh Mustafa Silalahi.

 

FOLLOW US