• Nasional

Sengketa Pulau Pasir, Masalah Serius yang Perlu Disikapi Pemerintah Pusat

Djemi Amnifu | Kamis, 15/12/2022 09:04 WIB
Sengketa Pulau Pasir, Masalah Serius yang Perlu Disikapi Pemerintah Pusat Narasumber webinar Sengketa Pulau Pasir yang diselenggakaran Milenial Indonesia melalui zoom meeting yakni Ferdi Tanoni sebagai Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dan Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor, Wawan H. Purwanto sebagai juru bicara BIN, Connie Rhakundini Bakrie, Akademisi dan Pengamat Pertahanan, dan Hanifa Sutrisna sebagai Pengamat Ekonomi Politi, Minggu (11/12/2022).

KATANTT.COM--Sengketa Pulau Pasir antara Australia dan Indonesia merupakan masalah serius yang perlu disikapi semua pihak terutama oleh pemerintah pusat. Penangkapan sejumlah nelayan asal Pulau Rote menambah kian meruncing hubungan antara Australia dan Indonesia atas Pulau Pasir.

Demikian benang merah dari webinar yang mengangkat tema Sengketa Pulau Pasir yang diselenggakaran Milenial Indonesia melalui zoom meeting, Minggu (11/12/2022).

Adapun narasumber pada webinar tersebut Ferdi Tanoni sebagai Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dan
Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor, Wawan H. Purwanto sebagai juru bicara BIN, Connie Rhakundini Bakrie, Akademisi dan Pengamat Pertahanan, dan Hanifa Sutrisna sebagai pengamat Ekonomi Politik.

Dalam pemaparannya Milenial Indonesia menyebut masalah sengketa Pulau Pasir antara Indonesia dan Australia ini adalah masalah yang sangat penting dan patut menjadi atensi berbagai pihak.

Pasalnya, akhir-akhir ini isu Pulau Pasir kembali ramai setelah adanya kejadian penangkapan banyak nelayan Nusa Tenggara Timur yang ditangkap dan kapalnya diledakan oleh Australia saat berlayar ke Pulau Pasir.

Belum lagi, pernyataan kontroversial dari Sandiaga Uno sebagai Menteri Parekraf, dan Retno, Menteri Luar negeri yang dinilai terburu-buru dalam memberikan statemen soal kepemilikan Pulau Pasir. Masalah Pulau Pasir ini tidak hanya sebagai masalah biasa, melainkan masalah pertahan dan keamanan negara.

Wawan H. Purwanto pada sesi pertama menjelaskan bahwa pada tahun 1950-an Pulau Pasir merupakan wilayah yang tidak dimiliki siapapun. Pulau tersebut pada awalnya seringkai dimanfaatkan untuk berburu paus, namun pada tahun 1970-an Pulau Pasir tersebut dianeksasi oleh Inggris dan diserahkan kepada Australia.

Padahal jelas Wawan Purwanto, pada nota kesepahaman Indonesia dengan Australi pada tahun 1974 bahwa Pulau Pasir masih berstatus sengketa atau belum dimiliki siapapun. Wawan H. Purwanto juga menilai bahwa perjuangan untuk klaim Indonesia atas Pulau Pasir tetap harus diperjuangkan.

Sementara Connie Rahakundini Bakrie pada sesi kedua menilai sejak berita Pulau Pasir menjadi kontroversi pada Oktober 2022 pemerintah belum memiliki keseriussan untuk menangani sengketa Pulau Pasir yang terjadi hingga saat ini.
Connie Rahakundini memberikan masukan kepada Ferdi Tanoni agar bisa mengumpulkan arsip-arsip sejarah sebagai bukti kuat pengaduan ke pengadilan internasional atas Pulau Pasir untuk Indonesia.

Salah satunya jelas Connie, adalah surat Eigendom Verbonding yaitu surat yang dimiliki hak waris atas wilayah tersebut sebagai bukti wilayah bekas jajahan Belanda.

Pasalnya, berdasarkan pidato Moh Yamin pada sidang BPUPKI menyatakan setiap wilayah bekas jajahan Belanda merupakan wilayah Indonesia.

Connie Rahakundini juga memberikan teguran kepada Menlu dan Menparekraf agar tidak terburu-buru dalam memberikan statement, terlebih yang berkaitan dengan kebijakan negara dan bersinggungan dengan negara lain karena hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi Indonesia.

"Kita harus bersiap dengan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan perang fisik atau non fisik, karena jika melihat ramalan Nostradamus Indonesia akan berperang dengan Australia, terlepas ramalan itu benar atau tidak kita tetap harus bersiap," ungkapnya.

Pada sesi ketiga diisi oleh

Pernyataan keras disampaikan Ferdi Tanoni, Ketua YPTB sekaligus pemegang hak ulayat atas wilayah Pulau Timor, Rote, Sabu, Alor dan Gugusan Pulau Pasir bahwa sudah lama berjuang supaya Pulau Pasir masuk ke dalam wilayan NKRI.

Mantan agen Imigrasi Australia ini mengungkapkan kekecewaannya karena sampai saat ini pemerintah pusat belum memiliki niatan dan langkah serius dalam masalah ini.

Bahkan jelas Ferdi Tanoni, Pemerintah Pusat cenderung menyerah pada kondisi yang ada. Karena itu, Ferdi Tanoni mengajak pemerintah pusat, baik Kemenlu, dan DPR RI Komisi I agar bisa duduk bersama secara langsung, tidak hanya sekedar memberikan statemen di media masa.

Ia mengaku bila akhir Januari 2023 nanti, akan berbicara dengan 7 pengacara sekaligus dari Australia guna membahas sengketa Pulau Pasir ini.

Penulis buku Skandal laut Timor: sebuah barter politik ekonomi Canberra-Jakarta? ini akan terus bersikap secara konsisten bahwa Pulau Pasir adalah milik bangsa Indonesia dan Australia harus keluar dari wilayah tersebut.

Sementara Hanifa Sutrisna menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh lemah terhadap klaim Pulau Pasir oleh Australia. "Sebab seandainya begitu, kita akan mudah kalah dalam memperjuangkan berbagai teritori Indonesia yang telah diklaim pihak lain, seperti Pulau Natuna yang diklaim oleh Cina," jelasnya.

Dari sisi ekonomi kata Hanifa, jika membahas pulau Pasir maka tidak hanya sedang membahas terumbu karang dan pasir putih yang indah, tapi juga mebahas kekayaan migas dan perikanan yang ada di dalamnya.

"Namun jauh hal yang lebih dari ekonomi, wilayah Pulau pasir ini merupakan wilayah yang sangat strategis dari sisi pertahanan, sehingga kenapa sengketa Pulau Pasir ini bersikeras diklaim pihak lain," katanya.

Hanifa juga berharap masalah ini adalah sesuatuyang benar-benar perlu diperjuangkan, jangan sampai ke depan masalah ini dimanfaatkan politisi untuk kepentingan pemilu, seolah-olah menjamin kepemilikan Pulau Pasir irir tersebut untuk Indonesia, padahal masih lemah secara hukum internasinal.

FOLLOW US