• Nusa Tenggara Timur

Semangat Anak di TTS Korban Kehamilan Tak Diinginkan Meraih Masa Depan

Djemi Amnifu | Sabtu, 19/11/2022 09:18 WIB
Semangat Anak di TTS Korban Kehamilan Tak Diinginkan Meraih Masa Depan Salah seprang anak di bawah umur di Kabupaten TTS yang menjadi korban pemerkosaan mendapat pendampingan aparat Polres TTS dan orangtua saat melaporkan kasus tersebut.

KATANTT.COM--Sandra, (bukan nama sebenarnya) adalah satu dari puluhan anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menjalani hidup akibat kehamilan tak diinginkan. Siswi salah satu SMA di Kabupaten TTS harus menanggung malu, minder dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri dalam rumah, buah dari hubungan terlarang bersama pacarnya.

"Kita pertama, hanya coba-coba. Sonde (tidak) bayangkan kalau kemudian hamil. Saya sudah minta maaf di mama dan bapak karena sudah membuat mereka malu. Saya baru sadar sekarang, kalau saya sudah salah melangkah, tapi saya berjanji ke mereka untuk kasih abis sekolah," kata Sandra sebagaimana dikutip, Sartje, staf Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP) Soe yang memberi pendampingan dan konseling bagi anak korban kehamilan tak diinginkan di Kabupaten TTS, kepada media ini, akhir September 2022 kemarin.

Awalnya, Sandra mengaku hanya mengurung diri dalam rumah bahkan, sampai putus asa dan ingin kabur dari rumah untuk mengikuti pacarnya yang berasal dari desa tetangga. Kemarahan orangtua Sandra menambah beban yang harus dialami remaja yang baru memasuki usia 17 tahun ini.

Namun, niat itu urung dilakukan setelah Sandra mendapat bantuan pendampingan dari YSSP Soe yang terus memberi bimbingan dan konseling kepadanya. Pendampingan pun, diberikan bagi kedua orangtua Sandra hingga mulai melunak dan mendorong Bunga, agar tetap semangat dan jangan putus asa.

Asa Sandra mulai bersinar dengan sikap kedua orangtua. Apalagi, teman-teman Sandra ikut bersimpati dan memberi dukungan moril kepadanya agar tetap melanjutkan pendidikan sampai selesai. Memang tak seperti membalik telapak tangan. Namun, Sandra berhasil membuktikan itu dengan menyelesaikan sekolahnya bersama teman-temannya.

"Dia (Sandra) tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua yang telah membantu dan memberi semangat sampai bisa menyelesaikan sekolahnya. Tak lupa, ucapan terima kasih Bunga kepada teman-temannya, tanpa mereka mungkin Bunga tak bisa menyelesaikan sekolahnya," kata Sartje mengutip pengakuan Sandra.

Karena itu,Sandra berpesan kepada teman-temannya agar menghargai masa muda mereka dengan terus meraih cita-cita dan masa depan. Mereka juga harus terus mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Mereka juga harus lebih berhati-hati dan lebih selektif dalam memilih pacar. "Dia (Sandra) berpesan supaya tetap pacaran, tetapi berpacaran yang sehat, jangan sampai melakukan hal yang aneh-aneh," ujar Sartje masih mengutip pengakuan Sandra.

Kini Sandra belum berpikir rencana untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena masih konsentrasi kepada kandungnya yang akan melahirkan beberapa bulan lagi. Sandra sendiri terus menjalin pergaulan bersama teman-temannya yang lain namun aktifitas di luar rumah mulai dikurangi karena masih merasa malu dengan orang-orang di sekitarnya. Sandra pun harus mulai bertanggungjawab dengan bayi yang dilahirkan nanti sehingga mulai belajar mengurus dan merawat bayi.

Di masa pandemi Covid-19, orangtua Sandra, harus bekerja keras guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Apalagi, orangtua Sandra hanyalah seorang petani dengan tanggungan lima orang anak tentu penghasilan sebagai petani tak cukup. Karena itu, orangtua Sandra sampai harus berjualan hasil kebun ke pasar dan ke beberapa kampung untuk membantu orang lain bekerja di kebun.

Dalam beberapa kasus, ada anak-anak yang menjadi korban hamil di bawah umur harus ikut bekerja membantu orangtuanya bekerja. Apa yang membantu orangtua mereka dengan menenun kain tenun khas TTS. Aktifitas ini mereka lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan rutin dalam rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mengambil air dan menyiram tanaman.

Hasil dari tenun khas TTS ini biasanya butuh waktu 1-2 bulan untuk diselesaikan, baru dijual dengan harga Rp 750.000 sampai Rp 1.000.000 per lembarnya.

Fenomena kehamilan tak diinginkan di TTS ini diakui, Direktur Yayasan SSP, Rambu Mella sebagai sebuah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah TTS dan semua elemen masyarakat. Bagaimana tidak, masalah kehamilan tak diinginkan ini membawa dampak bagi generasi muda TTS bila tak serius ditangani.

Dalam beberapa kasus sebut, Rambu, kehamilan tak diinginkan akibat kekerasan tentu langsung direspon dengan melaporkan ke pihak berwajib. Kasus kehamilan anak bawah umur di Kabupaten TTS terbilang tinggi. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) TTS menyebutkan kasus kehamilan anak yang tak diinginkan dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2017 sebanyak 8 kasus, tahun 2018 terjadi 21 kasus, tahun 2019 terjadi 27 kasus, tahun 2020 terjadi 21 kasus dan tahun 2021 per Januari-Juni terjadi 16 kasus.

Yayasan SSP Soe kata Rambu Mella, selama ini memberi pendampingan bagi anak-anak yang mengalami kehamilan tak diinginkan  yakni dengan langsung memberi pendampingan dan konseling kepada korban. Menurut Rambu, dalam beberapa kasus, kehamilan  tak diinginkan ini terjadi pada masa hubungan pacaran hingga berlanjut ke hal-hal negatif karena minimnya pemahaman anak tentang kekerasan seksual. Selain itu, karena minimnya pemahaman anak tentang konsep pacaran yang benar.

"Kasus yang terjadi (kehamilan tak diinginkan-red) biasanya karena pelaku (pacar) menuntut pembuktian cinta. Jadi sebenarnya, ada sedikit pemaksaan dari pacarnya kepada korban sehingga mereka melakukan hal-hal yang sebenarnya belum boleh mereka lakukan," jelas Rambu lagi.

Rasa ingin tahu yang tinggi dari anak tentang hubungan seksual dan rasa cinta yang berlebihan terhadap pacar kata Rambu, sehingga mereka akhirnya melakukannya. Apalagi kata dia, aktifitas anak di masa pandemi Covid-19 sangat bebas yakni hanya menyelesaikan tugas yang diberikan guru dan membantu orang tua bekerja di rumah. Ditambah lagi dengan lemahnya sistem pendidikan terutama di tengah pandemi Covid-19, sebagai akar masalah kehamilan anak tak diinginkan.

"Setelah itu, mereka hanya bermain facebook dengan teman-teman dan ketemu pacar dengan alasan ke orang tua sedang antar tugas ke guru. Kalau pelakunya adalah pacar maka pada sebagian korban termakan oleh janji manis pacar," sambung Rambu lagi.

SSP kata Rambu, juga menemukan jika anak yang hamil di luar nikah karena penyalahgunaan gadget (handphone). Alat komunikasi tersebut justru digunakan untuk menonton video porno, chat mesum kemudian memprakteknya. Selain itu, tidak adanya literasi digital yang dibarengi oleh pemahaman reproduksi dan seksual.

"Lemahnya pengawasan orang tua terhadap perkembangan anak dan aktifitas anak di dalam rumah maupun luar rumah. Orang tua cenderung percaya kepada anak, orang tua sibuk bekerja untuk mencari nafkah," jelasnya lagi.

Namun kata Rambu, dalam beberapa kasus anak hamil di luar nikah yang disertai dengan kekerasan langsung dilaporkan ke polisi untuk diproses secara hukum. Selain untuk memberi pendidikan hukum sekaligus memberikan efek jera kepada para pelaku lain jika ingin melakukan hal-hal tersebut.

Sejauh ini sudah mulai nampak peran dari tokoh agama dalam upaya pencegahan terhadap kasus kekerasan terhadap anak namun belum merata di semua wilayah klasis dan pemerintah desa di Kabupaten TTS. "Lewat mimbar gereja mereka memberi khotbah dan diskusi dengan kaum pemuda agar menjauhkan diri dari perbuatan tercela," ujarnya.

 Sedangkan pemerintah desa jelas Rambu lagi, sudah sampai kepada tahap pembuatan peraturan desa yang mengatur tentang larangan kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk sekaligus menindaklanjuti perda nomor 6 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Sementara Kepala Dinas P3A TTS, Linda Fobia menjelaskan bahwa menikah adalah sebuah lompatan baru dalam hidup seseorang, yang makna dan efeknya begitu besar. Selain merubah status dari hidup sendiri menjadi hidup berdua dan bersama anak-anak maka harus bisa berbagi suka dan duka.

"Karena menikah berarti menggabungkan dua individu dalam satu visi dan misi, serta menggabungkan dua keluarga, maka pernikahan harus dijalankan dengan penuh kesungguhan, mulai dari persiapan sebelum menikah sampai setelah menjalaninya nanti," jelasnya.

Menurut Linda, ada banyak dampak negatif dari menikah di usia muda yaitu faktor hormon yang dapat mempengaruhi tingkat kematangan psikologis seseorang di usia muda. Berbeda dengan orang yang semakin tua usianya maka makin matang dalam pikir dan hilangnya akses pendidikan anak dengan adanya perkawinan anak. "Menikah di usia muda jika belum menyiapkan fisik, psikis, finansial dan wawasan yang cukup bisa berakhir dengan perceraian," imbuhnya.

Kondisi ini kemudian memunculkan kekerasan dalam rumah tangga atau anak tak terdidik dan terasuh dengan baik.  Pasangan nikah muda rata-rata dianggap belum dewasa dalam menjalani pernikahannya sehingga akan mengundang munculnya campur tangan pihak keluarga, orangtua dan saudara.

Ia mengakui kasus kehamilan anak di TTS terbilang tinggi di tengah masa pandemi Covid-19. Namun banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut salah satunya adalah tindak kekerasan seksual oknum tak bertanggungjawab dan mereka ini adalah orang-orang terdekat korban.

"Pengawasan orang tua sangat penting dalam menjaga dan mencegah terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Dinas P3A terus mendorong dan memberi pendampingan kepada anak korban kekerasan seksual sampai persidangan di pengadilan," tegas Linda.

Meski begitu sebut Linda, pihaknya terus mengkampanyekan stop kekerasan terhadap perempuan dan anak sekaligus mensosialisasikan peraturan daerah tentang perlindungan anak ke setiap desa. Termasuk sosialisasi lewat tokoh agama dan tokoh adat di setiap desa yang dikunjungi.

Salah satu lemahnya pengawasan sebut Linda, adalah belum semua desa di Kabupaten TTS terbentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Pengalihan anggaran terkait penanganan pandemi Covid-19 selama dua tahun ini membuat Dinas P3A belum bisa mengalokasikan anggaran untuk membentuk KPAD di desa-desa.

Di tingkat pemerintah desa, sejumlah perangkat desa terus mendorong upaya pencegahan kehamilan anak, sebagaimana disebutkan Kepala Desa Oe,uban Kecamatan Mollo Barat, Stefanus Batu yang mengaku desanya termasuk salah satu desa di TTS yang melarang (menolak) perkawinan anak di bawah umur. Meski belum diatur dalam peraturan desa, namun sudah diatur dalam peraturan daerah (perda) nomor 6 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Stefanus Batu mengaku, telah ditindaklanjuti dengan membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) yang pengurusnya terdiri atas pemerintah desa setempat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan dan tokoh masyarakat . KPAD ini yang kemudian menjadi perpanjangan tangan Pemkab TTS dan pemdes setemnpat melakukan pencegahan dan pengawasan terhadap kasus kekerasan anak dan perempuan termasuk perkawinan anak bawah umur.

"Sanksi adat yang berat. Itu bisa dikenakan dua sampai tiga kali lipat kepada keluarga (laki-laki Red) yang ingin mengawinkan anak yang masih di bawah umur. Apalagi kalau sampai, ada langgar kakak yang belum nikah tapi adik sudah mau nikah," beber Stef Batu, demikian bisa disapa.

Larangan adat ini sebut Stef Batu, sudah umum berlaku di Kabupaten TTS, sehingga jika masih terjadi perkawinan anak bawah umur itu akibat kecelakaan. Jadi, kalau tidak punya uang untuk bayar denda sebaiknya, jangan coba-coba menikahkan anak yang masih di bawah umur.

Khusus di Desa Oe,uban ini Stef Batu, menjelaskan memanfaatkan dana desa untuk membantu memberi modal usaha bagi warganya dalam meningatkan ekonomi keluarga lewat kerajinan tenun ikat. Modal usaha itu, berikan per kelompok kemudian kelompok yang mengelola dan tersebut untuk kerajinan tenun. Meski sebagai pekerjaan sampingan, kata Stef Batu, namun kerajinan tenun ikat sungguh-sungguh membantu ekonomi keluarga.

"Sebagian besar pekerjaan masyarakat Oeuban dari bertani yang dikerjakan sekali dalam setahun saat musim hujan. Selebihnya, hampir tidak ada aktifitas sama sekali sehiangga waktu banyak waktu kosong. Kerajinan tenun ikat ini mereka betul-betul menafaatkan waktu dengan kegiatan positif terutama anak-anak perempuan," katanya.

Desa Oeuban kata Stef Batu, memiliki 8 kelompok tenun ikat yang hampir semua anggotanya adalah perempuan dan sebagian besar adalah anak sekolah. Jadi, kerajinan tenun ikat ini bukan saja membantu ekonomi keluarga tetapi memberdayakan generasi muda khususnya anak-anak perempuan melestarikan budaya tenun ikat ini. Modal usaha, yang diberikan kemudian dikembalikan selama setahun, untuk digulirkan kepada warga lain yang membutuhkan.

Meski sudah cukup banyak regulasi yang mengatur soal perlindungan perempuan dan anak anak namun tidak dilakukan secara konsisten baik lewat petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis.

Sementara Wakil Bupati TTS, Johny Army Konay memastikan Pemkab TTS memiliki komitmen serius dalam mencegah kehamilan anak di luar nikah yang akan berdampak kepada generasi muda di TTS. Sejumlah regulasi kata Army Konay, demikian biasa disapa--telah dikeluarkan Pemkab TTS bukan hanya dalam mencegah perkawinan usia anak tetapi juga kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sejumlah regulasi tersebut antara lain Perda nomor 6 tahun 2015 tentang Penyelenggaran Perlidungan Anak, Perda Nomor 9 tahun 2015 tentang Penyelenggaran Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan. Selain itu, Peraturan Bupati TTS nomor 16 tahun 2016 tentang pelaksanaan Perda nomor 6 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Selainn itu, surat edaran Bupati TTS nomor: P3A.15.04.02/185/2019 Tahun 2019 tentang alokasi anggaran penyelenggaraan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dan Perlindungan Anak terpadu berbasis masyarakat (PATDM) dan Kelompok Pemberdayaan lainnya. Yang terakhir jelas Army Konay, adalah Perda nomor 4 Tahun 2020 tentang Kabupaten Layak Anak (KLA). "Secara aturan, kita (Pemkab TTS red) bersama DPRD TTS sudah cukup maksimal dalam upaya mencegah perkawinan usia anak," ujarnya.

Ia mengakui belum semua desa di TTS terbentuk KPAD dalam mengawasi dan melakukan kontrol perkawinan usia anak. KPAD ini merupakan ujung tombak Pemkab TTS di desa-desa dalam mencegah perkawinan usia anak dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Bersama Bupati TTS, Egusem Piether Tahun, Army Konay memastikan hingga akhir 2024 nanti akan membentuk KPAD minimal di 133 desa dan 6 kelurahan yang ada di TTS. "Minimal sampai tahun 2023 nanti, semua desa di TTS sudah berhasil terbentuk KPAD sehingga mampu meminimalisir bukan saja kasus perkawinana anak bawah umur tetapi juga kasus-kasus lain termasuk kekerasan terhadap anak dan perempuan," tegasnya.

Pemkab TTS akan mengembangkan satu model manajemen yang baik sehingga masyarakat desa sudah terbiasa untuk menerapkan model manajemen tersebut. "Kami pasti mengadopsi sistem dan bentuk yang sementara dipakai oleh Plan melalui OPD yang ada sehingga itu kemudian menjadi pilot projek di desa dan kecamatan di Kabupaten TTS," ujarnya.

Kasus perkawinan anak usia dini ataupun kehamilan anak yang tak diinginkan di Kabupaten TTS ini mendapat perhatian serius  Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nusa Tenggara Timur. Bekerjasama dengan UNICEF (United Nations International Childrens Emergency Fund), PKBI NTT meluncurkan  Program Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat dan Anak di 5 kabupaten di Pulau Timor yakni Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Malaka dan Belu.

Koordinator PKBI NTT Kabupaten TTS, Yandri Edison Mantolas menjelaskan bahwa khusus di Kabupaten TTS, sejak Agustus 2022, sudah diberikan pelatihan kepada 32 orang perwakilan yang berasal dari 16 sekolah terdiri atas 8 SD, 5 SMP dan 3 SMA. Masing-masing sekolah diwakili 2 orang perwakilan yang berasal dari guru dan pengurus komite sekolah.

"Komunikasi risiko ini sangat penting agar masyarakat yang berisiko memahami dan mengadopsi perilaku yang benar,  tentang ancaman bahaya perkawinan usia anak maupun kesehatan reproduksi. Melalui pelatihan ini bisa ditindaklanjuti di lingkungan mereka masing-masing baik di sekolah maupun di rumah," jelasnya.

Selain itu jelas Yandi, pihaknya juga melakukan kampanye dan sosialisasi dengan sasaran kelompok remaja (anak usia sekolah) dengan mengangkat isu tentang pernikahan usia anak, pentingnya kesehatan reproduksi, literasi digital dan hak anak.

Sosialisasi dan kampanye ini sebut Yandri telah menyasar sekitar 2000 anak sekolah mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA di Kabupaten TTS.  Meski begitu, Yandri mengaku dalam mengubah cara berpikir  (mindset) masyarakat TTS khususnya soal perkawinan usia anak dan kesehatan tak semudah membalik telapak tangan karena butuh proses dan harus dilakukan secara terus menerus.

“Memang tidak mudah mengubah mindset masyarakat di TTS. Namun kalua kita lakukan secara terus menerus tentu pola pikir mereka akan berubah. Karena itu, kita harap program ini bisa dilanjutkan di tanun mendatang,” katanya. ***

FOLLOW US