• Nusa Tenggara Timur

Carut-marut Bedah Rumah di Kota Kupang

Djemi Amnifu | Selasa, 04/10/2022 15:48 WIB
Carut-marut Bedah Rumah di Kota Kupang Salah satu rumah hasil renovasi Program Peningkatan Kapasitas Rumah senilai Rp 12 juta namun sudah rusak seperti diabadikan, September 2022 kemarin.

KATANTT.COM--Sabrina Havihanny Soeek (66), bersama dua orang anak dan cucunya sejak beberapa waktu lalu menghuni rumah berukuran 7x7 meter terletak di RT 002/RW 001, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang. Rumah ini tampak baru dibangun dengan dua kamar tidur dilengkapi ruang tamu dan satu toilet.

Namun rumah ini tanpa lantai semen plester dan lantai rumah hanya berupa bekas semen kasar yang dirapikan. Rumah Sabrina pun tanpa plafon bagian dalam dan luar rumah. Selain itu tidak adanya plester semen pada tembok dalam maupun luar rumah.

Pintu rumah sebagai akses masuk keluar setiap ruangan rumah tersebut, terbuat dari tripleks biasa yang dipasang pada bagian depan dan belakang dari bingkai kayu yang dibentuk menyerupai pintu. Sementara pada bagian dalam rumah yang tanpa adanya plafon membuat suasana dalam rumah terasa panas pada siang hari dan dingin saat malam hari.

Terlihat jelas kabel-kabel bergelantungan beradu dengan panasnya matahari yang menembus atap seng rumah tersebut. Rumah itu tak layak huni. Pintu rumah tak bisa dikunci, sehingga saat malam daun pintu harus diganjal kayu atau batu agar tidak terbuka lebar sehingga orang asing tak bisa masuk ke rumah.

Selain pintu yang tak bisa ditutup, atap rumah tersebut juga menyisakan serbuk halus. Serbuk itu terhirup penghuni rumah. Akibatnya menimbulkan beberapa jenis penyakit pada anggota keluarga seperti batuk-batuk dan mata menjadi merah.

`Penderitaan` ini sudah berlangsung sejak mereka menempati rumah tersebut dari minggu ke dua bulan Agustus tahun 2021 lalu. Rumah Sabrina yang baru dibangun itu merupakan bantuan pemerintah Kota Kupang melalui Program Bedah Rumah pada tahun 2020.

Data Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman kota Kupang dalam dokumen perubahan anggaran tercantum program pengembangan perumahan dengan sub program rehabilitasi rumah tidak layak huni bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).

Rincian perhitungan volumenya sebanyak 500 unit dengan harga satuan Rp 10 juta dengan total anggaran Rp 5 milliar. Setelah perubahan volumenya dihitung per paket dengan nilai yang bervariatif berdasarkan kontraktual unit price.

Sabrina harusnya senang dengan bantuan Bedah Rumah Pemkot Kupang itu. Namun dia kecewa dengan kualitas rumah yang dikerjakan yang jauh dari berkualitas dan layak. Karena walaupun rumah sebelumnya terbilang kurang layak huni, namun dinilai masih lebih layak dari rumah dari hasil program bedah rumah ini. “Saya bukannya tidak tahu berterima kasih, tapi kondisi rumah ini membuat kami kecewa dan saya merasa tidak nyaman dengan rumah baru ini,” kata Sabriana Soeek saat ditemui beberapa waktu lalu.

Berbeda dengan Sabrina yang menerima bantuan hanya senilai Rp 20 juta, Absalom Tameo, penerima bantuan rumah lainnya dengan nilai yang cukup fantastis yakni Rp 80 juta. Rumah Absalom justru bukan dibedah, tapi dibangun baru dengan lokasi berbeda. Artinya, ia membangun rumah baru dari proyek ini.

Absalom bersama keluarga, awalnya tinggal di Kelurahan Oeba, Kota Kupang. Namun, setelah mendapat program bedah rumah dari Pemkot Kupang, alamat rumah mereka berpindah ke RT 18/RW 07 kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak, Kota Kupang. “Kami sebelumnya tinggal di Oeba, setelah dapat bantuan dan rumah jadi sekitar April 2021 baru tinggal di sini,” kata Ani Tameo, anak Absalom yang ditemui di kediamannya.

Walaupun sebagai penerima rumah huni dengan nilai fantastis, namun rumah Absalom dengan ukuran 6x6 meter itu tidak diplester bagian luar dalam. Rumah hanya miliki 2 kamar tidur dan satu kamar mandi tanpa plafon, serta tanpa aliran listrik, sehingga pada malam mereka harus gelap gulita.

Mereka pun berinisiatif menarik kabel listrik dari tetangga, sehingga bisa menerangi rumah bantuan Rp 80 juta Pemkot Kupang itu. "Listrik, kami ambil dari tetangga yang jarak dengan rumah kami sekitar 500 meter, karena tidak ada akses tiang listrik" jelasnya.

Situasi berbeda dialami Kristofel Mbeo. Ia tidak pernah mengusulkan atau mengajukan untuk mendapat bantuan bedah rumah Pemkot Kupang. Namun dia terpilih sebagai salah satu penerima bantuan bedah rumah tersebut. “Saya memang tidak pernah mengajukan permohonan, tapi tiba-tiba beberapa orang datang dan mengaku tim yang akan mengerjakan rumah kami,” kata Christofel.

Sejumlah kejanggalan dari program bedah rumah Pemkot Kupang ini menjadi temuan Panitia Khusus (Pansus) Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Rata-rata penerima bantuan tidak sesuai dengan Peraturan daerah (Perda) yang ditetapkan bersama DPRD Kota Kupang.
"ditemukan bahwa mekanisme penggangaran sampai dengan pelaksanaan pembangunan tidak menunjukan asas keadilan dan kewajaran dalam besaran anggaran dan kualitas pekerjaan, untuk itu direkomendasikan kepada pemerintah untuk segera melakukan audit," demikian hasil rekomendasi pansus DPRD Kota Kupang.

Perda itu merupakan program rehabilitasi rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tahun anggaran 2020.
Program ini dibahas dan disepakati anggaran sebesar Rp 5 miliar dan di-refocusing menjadi Rp 2,5 miliar dengan perincian kegiatan peningkatan kualitas rumah, dan alokasi anggaran setiap rumah sebesar Rp 10 juta.
Rencananya, penerima manfaat harusnya mencapai 250 rumah.

Dalam pelaksanaannya, anggaran tersebut dibagi dua dengan rincian, bedah rumah sebanyak 42 rumah dan peningkatan kualitas rumah sebanyak 30 rumah, sehingga totalnya hanya 72 rumah. Untuk peningkatan kualitas rumah pun ditemukan nilai bantuan yang bervariatif dari yang terendah sebesar Rp 4 juta dan nilai tertinggi Rp 12,9 juta.

Padahal sesuai yang disepakati dalam Perda bahwa bantuan hanya senilai Rp 10 juta per rumah. Sedangkan pembangunan 42 rumah, tidak pernah dilakukan pembahasan di tingkat DPRD, mulai dari perencanaan, pengawasan, sehingga pembangunan rumah itu tidak miliki petunjuk teknis dan siapa penerima bantuan rumah tersebut, sehingga besaran bantuan bervariasi harganya antara Rp 50 juta hingga Rp 82,5 juta.

Temuan BPK NTT

Sesuai hasil uji petik di beberapa lokasi pembangunan bedah rumah antara lain Penfui, Maulafa dan Manulai II, ditemukan bahwa mekanisme penganggaran sampai dengan pelaksanaan pembangunan tidak menunjukkan asas keadilan dan kewajaran dalam besaran anggaran dan kualitas pekerjaan.

Untuk itu direkomendasikan kepada pemerintah segera melakukan audit internal melalui Inspektorat Daerah Kota Kupang terkait pelaksanaan perencanaan anggaran hingga pembangunan agar tidak berdampak hukum di kemudian hari.

“Saya tidak bisa katakan sekarang bahwa ada perbuatan melawan hukum, tetapi perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut, karena patut diduga ada pelanggaran itu,” kata Ketua Pansus DPRD Kota Kupang, Tellend Daud ketika dikonfirmasi.

Dalam dokumen Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota Kupang tahun anggaran 2020, tercatat rekomendasi pansus ditindaklanjuti dengan adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTT, terkait dengan pelaksanaan perancangan anggaran yang sebelumnya Rp 10 juta berubah menjadi Rp 50 juta per unit.

Hal ini menjadi temuan kekurangan volume pada paket pengadaan kegiatan bedah rumah bagi MBR yang bersumber dari DAU, dan denda keterlambatan sebesar Rp 23,1 juta dan tertib administrasi sejak perencanaan anggaran sampai dengan pelaksanaan kegiatan.

“Sesuai LKPj sudah seperti ini, hanya 42 penerima bedah rumah dan 30 penerima peningkatan kualitas rumah. Ini berbeda jauh dari target yang ada, sehingga kita merasa bahwa ada pelanggaran terhadap aturan dan pemanfaatan anggaran,” tambah Tellend.

Temuan lain BPK RI, yakni nomenklatur penggunaan anggaran bedah rumah tidak sesuai. Nomenklatur yang digunakan adalah belanja modal untuk kegiatan bedah rumah bagi masyarakat atau hibah. Seharusnya nomenklaturnya belanja barang yang diserahkan ke masyarakat.

Diketahui bahwa penggunaan nomenklatur itu atas hasil diskusi bersama Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Benny Sain. Saat dikonfirmasi wartawan, Benny Sain mengaku program kerja pada dinasnya sudah sesuai dengan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).

Menurut Benny, jika hanya rehabilitasi rumah senilai Rp 10 juta untuk tiap rumah, maka nilai manfaatnya tidak nampak. Apalagi dengan kondisi rumah masyarakat yang tidak memungkinkan kalau hanya di rehabilitasi sehingga program bangun baru rumah juga dilaksanakan dengan nominal Rp 50 juta.

Pelaksanaan program dengan besaran anggaran senilai Rp 2,5 milliar tersebut dibagi dua yaitu bedah rumah sebanyak 42 rumah yang menelan anggaran sebesar Rp 2,1 miliar lebih.

Kedua adalah peningkatan kualitas rumah sebanyak 30 rumah yang menghabiskan anggaran senilai Rp 306,7 juta. Total kedua proyek tersebut senilai Rp 2,4 miliar lebih.

Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) Dinas PRKP Kota Kupang tercantum nama program pengembangan perumahan dengan jenis kegiatan rehabilitasi rumah tidak layak huni bagi MBR dengan target kinerja 500 unit rumah dengan total Rp 5 milliar.

Namun dalam DPPA setelah dirasionaliasi sebesar Rp 2,5 milliar, maka belanja modal pengadaan rehabilitasi rumah bagi MBR berubah menjadi satuan paket tidak per unit.

“Proyek ini kita kerja sesuai kontrak unit price, kalau nilainya variatif, karena memang bukan kerja di tanah lapang dan datar. Intinya kerja sesuai DPA, kalau rehab-rehab kecil itu tidak efektif, anggaran terbuang percuma,” tandas Benny Sain.

Benny menjelaskan, kesepakatan pola kerja berdasarkan kontrak harga satuan (unit price). Kontrak unit price mempunyai kelemahan dalam penentuan biaya total proyek secara pasti, karena hanya dapat diketahui setelah proyek selesai dikerjakan.

Ia berargumen menggunakan pola kontrak unit price karena lokasi pembangunan rumah baru bukan terpusat pada satu area atau tanah lapang terbuka yang datar. Tapi sesuai kondisi dan kontur rumah warga yang kondisi lokasi tanahnya miring, sehingga perlu urukan dan pondasinya berbeda.

“Intinya anggaran Rp 50 juta, kita kerja senilai itu, kecuali jika anggaran Rp 50 juta lalu kita kerja hanya Rp 10 juta. Itu salah masuk bui (Penjara). Pemeriksaan BPK juga ada dan selesai, apalagi yang mau diragukan,” tutup Benny, via telepon.

Dikerjakan CV Kurnia Sejati Utama 

Penelusuran Tim KJI NTT, melalui data LPSE Kota Kupang, proyek senilai Rp 2,5 miliar diikuti oleh empat perusahaan yakni CV Tuak Mandiri, Sinar Naga Mas, Kencana Sakti dan CV Kurnia Sejati Utama, yang kemudian di menangkan oleh CV Kurnia Sejati Utama (KSU) milik Yacob Misa yang beralamat di Jalan Fatutuan RT03/RW06, Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, dengan nilai penawaran Rp 2,4 milliar.

Kontraktor CV Kurnia Sejati Utama, Yakob Misa yang ditemui KJI dikediamannya, mengaku perusahaan itu miliknya, namun bukan dirinya yang mengerjakan proyek itu karena sakit. Yakob memberi kuasa direktur kepada Evan Taneo yang juga temannya.

"Beta (saya) waktu itu sakit, jadi kawan yang maju pake perusahaan, memang beta sonde (tidak) bisa lagi karena sakit dan opname di rumah sakit. Jadi kuasa direkturnya om Even Taneo, dan pakai CV saya," Yakob Misa membuka percakapan.

Saat ditemui secara terpisah, Evan Taneo mengatakan pada tahun 2020 mereka mendapat pekerjaan 74 unit rumah dengan anggaran Rp 2,5 milyar. Anggaran itu untuk membangun 42 unit rumah baru dengan alokasi Rp 50 juta per rumah, dan sisanya 32 unit renovasi dengan anggaran bervariasi antara Rp 1 juta hingga Rp 8 juta. "Dana sebesar itu sudah termasuk PPN/PPH, biaya tukang (ongkos kerja) dan pembelian bahan bangunan rumah," jelasnya.

Saat pelaksanaan di lapangan, lanjut dia, ada rumah yang ukurannya tidak sesuai gambar, sehingga volumenya secara otomatis berkurang yang berimbas terhadap anggaran Rp 50 juta tersebut. "Kalau volume berkurang berarti uangnya tidak sampai Rp 50 juta lagi. Nah kelebihan daripada itu ada pekerjaan rehab untuk masyarakat yang rumahnya rusak, atau tidak layak. Ada yang ganti seng, pasang plafon dan plester serta lantai rabat untuk kekurangan," jelasnya.

Ia mengaku proyek tersebut sudah dilakukan serah terima sementara pekerjaan (PHO), serah terima akhir pekerjaan (FHO) serta telah dilakukan audit oleh BPK, namun belum dibayarkan. Evan mengaku tidak mengetahui kendala apa sehingga belum dilunasi, padahal sudah masuk dalam DPA tahun 2022.

Pekerjaan program bedah rumah tahun 2020 itu selesai dikerjakan pada Februari 2021, dan dilakukan PHO, FHO. "Yang belum bayar itu seingat saya masih ada Rp 500 juta. Waktu itu dari Inspektorat ada rekomendasi untuk denda keterlambatan dan pemeriksaan, tapi tidak tahu apa yang belum bayar," ujar Evan.

Program bedah itu, katanya, dihitung volume harga satuan untuk 50 unit rumah. Namun kondisi rumah ada yang di gambar hanya 30 centimeter, berbeda di lokasi ada yang lebih tinggi, ada yang miring. Misalnya ada penerima yang ukuran rumahnya kecil, akhirnya kami rehab, sehingga volumenya kurang, sehingga akumulasi dari volume kurang itu hitung sisa uang.

"Ya sudah tambah rumah lagi untuk plester, ada yang pasang plafon, ganti seng makannya membengkak sampai dengan 70-an rumah itu. Tapi nilai kontraknya tetap sama," katanya.

Evan mengaku pekerjaan itu mengalami keterlambatan akibat adendum dan volume. Masyarakat penerima manfaat diberi 50 orang, namun setelah pengerjaan diketahui terjadi kekurangan volume. Sehingga diminta penambahan nama penerima manfaat karena masih ada sisa uang.

"Kami minta nama penerima, tapi lama baru diberikan, sehingga waktu itu selesai pengerjaan di bulan Februari. Tapi saat itu dinas hitung denda dan baik dinas hanya hitung denda dari sisa pekerjaan itu saja," ujarnya.

FOLLOW US