• Nusa Tenggara Timur

Brigade Meo, Pasukan Penjaga Radikalisme di Nusa Tenggara Timur

Imanuel Lodja | Kamis, 05/11/2020 21:23 WIB
Brigade Meo, Pasukan Penjaga Radikalisme di Nusa Tenggara Timur Ormas Brigade Meo usai menggelar kegiatan sosial dengan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

katantt.com--Radikalisme, intoleransi dan terorisme masih menjadi kecemasan bagi masyarakat Indonesia.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dikenal sebagai Nusa Toleransi Terindah sangat menjunjung tinggi toleransi dan memiliki kekuatiran tersendiri akan masuknya paham-paham yang menentang Pancasila.

NTT memiliki 22 kabupaten/kota yang tersebar di tujuh pulau besar yakni Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote dan Sabu atau lebih dikenal dengan sebutan Flobamorata.

Terletak di wilayah selatan Indonesia di antara negara Australia dan Timor Leste, serta letak geografis yang berpulau-pulau (117 pulau besar dan kecil) sangat memungkinkan dan memudahkan NTT diakses dari berbagai wilayah.

Tiga Paham Radikalisme di NTT

Pada tahun 2016 yang lalu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi NTT, Sisilia Sona mengungkapkan ada tiga organisasi yang menyebarkan paham radikalisme di NTT.

Tiga paham radikalisme itu adalah Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).

"Ada tiga paham radikalisme yang marak di NTT yang perlu dipantau," katanya saat acara “Dialog Pencegahan Penyebaran Paham Radikalisme dan Terorisme”, yang dilaksanakan di Kupang, Selasa, 23 Februari 2016.

Pergerakan ormas ini, menurut Sisilia, sulit dipantau karena tidak terdaftar sebagai organisasi masyarakat, melainkan membentuk yayasan yang kepengurusannya didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga tidak punya kewenangan melakukan klarifikasi.

"Kami kesulitan jika pendaftarannya dilakukan ke pusat," katanya.

Mahasiswa Terpapar

Sementara itu, penelitian paham radikal di kalangan generasi muda mahasiswa pada lima perguruan tinggi (PT) negeri dan swasta di Pulau Flores dan Timor membeberkan hasil mengejutkan.

Sejumlah 20,05 persen dari 200-an responden mahasiswa telah terpapar paham radikal.

Riset dilakukan bulan Maret 2019 dengan melibatkan pengajar Sekolah Tinggi Filsalat Katolik (STFK) Ledalero, Pater Dr. Hendrik Maku, SVD, Pater Bernard Raho, SVD dan Romo Mathias David.

"Hasilnya 20,05 persen dari 200-an mahasiswa terpapar radikalisme," kata Pater Hendrik Umat (25/10/2019) lalu.

Lima perguruan tinggi disasar riset ini, jelas Pater Hendrik, adalah Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, Universitas Flores (Unflor) Ende, Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang dan Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang.

Enam Kabupaten Rawan Radikalisme

Kompol I Ketut Suwijana, Kassubdit Dit Intelkam Polda NTT dalam seminar nasional bertajuk Deradikalisasi Paham Radikal dari NTT untuk Indonesia di Hotel Sahid Timore, Kota Kupang, Kamis (21/11/2019) mengakui sejumlah Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur dinyatakan rawan radikalisme.

Beberapa kabupaten yang dinyatakan rawan radikalisme tersebut antara lain, Ende, Belu, Lembata, Manggarai Barat, Sumba Timur, dan Kota Kupang.

Ia mengakui di Kota Kupang ada tiga napi teroris (napiter) dan organisasi paham radikalisme yang perlu diwaspadai.

Selain itu, ada sekitar 20-an eks pengikut HTI di Kota Kupang yang perlu diwaspadai karena diam-diam mereka menyebarkan paham radikalisme.

Sementara di Belu ada satu napiter,. Sedangkan di Lembata, kata Ketut Suwijana, ada aliran Ahmadyah.

Menurutnya, Ahmadyah bukan radikal seperti radikal seperti ISIS atau HTI tapi aliran sesat sehingga perlu diwaspadai.

Di Kabupaten lain, yakni Ende dua napiter dan Sumba Timur dua napiter.

Kabupaten Manggarai Barat paling rawan radikalisme karena berbatasan langsung dengan Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan provinsi dengan tingkat kerawanan sangat tinggi.

Bahkan, Ketut Suwijana menyebut, Kabupaten Bima boleh dikatakan, sebagai produsen teroris.

Ia menyebut di NTB ada kelompok Khilafatuh Muslimin, visi kelompok ini yakni mendirikan khilafah mulai dari Indonesia.

Pemerintah Provinsi NTT dan kabupaten/kota serta berbagai elemen masyarakat berusaha membentengi masyarakat NTT dari berbagai kemungkinan munculnya paham lain di masyarakat NTT.

Penangkal Radikalisme

Brigade Meo, sebuah organisasi kemasyarakatan hadir memberi warna tersendiri di bumi Flobamorata, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Digawangi sejumlah pemuda dan pemudi lintas suku di NTT, Brigade Meo hadir menjadi penangkal intoleransi, radikalisme dan terorisme di Provinsi NTT.

Brigade Meo sendiri didirikan sejak 2013. Organisasi ini lahir dari perbincangan sejumlah pemuda yang bermuara pada kesepakatan membentuk sebuah wadah untuk berdiskusi dan menampung aspirasi serta ide para anak muda.

Nama Brigade Meo melambangkan pasukan dan pahlawan. Brigade berarti pasukan dan Meo dalam bahasa Timor berarti pahlawan.

"Brigade Meo adalah kumpulan pahlawan yang menjaga NTT," ujar Ketua Brigade Meo, Mersy Seubelan saat berbincang dengan wartawan belum lama ini.

Kehadiran Brigade Meo diakui Mersy Seubelan karena mereka prihatin belum adanya wadah yang terorganisir untuk menangkal radikalisme, intoleransi dan terorisme di NTT.

Para pengurus Brigade Meo juga `terusik` dengan proses pemaksaan keyakinan di suatu daerah di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) serta pembakaran rumah ibadah.

"Kami terpanggil untuk menangkal radikalisme dan hal-hal yang menganggu toleransi di NTT," tandasnya.

Dalam kiprahnya, Brigade Meo melakukan aksi yang cukup menyita perhatian publik. Beberapa kali Brigade Meo menggagalkan beberapa organisasi dan warga yang coba datang ke NTT diduga menyebarkan paham lain dengan modus kegiatan agama.

Brigade Meo juga membubarkan aktivitas HTI dan berkoordinasi dengan aparat keamanan mengamankan koordinator HTI yang melakukan aksi menganggu toleransi di NTT.

Selain itu, Brigade Meo intens memantau isu-isu radikalisme. Setiap ada pergerakan dan aktivitas yang cenderung radikal maka Brigade Meo hadir menjadi penangkal aksi radikalisme.

Di laini pihak, Brigade Meo senantiasa merawat hubungan dengan berbagai pihak melalui road show ke pimpinan agama dan mendapat apresiasi karena Brigade Meo memiliki misi utama menjaga NTT serta Brigade Meo berusaha ada pada posisi netral dan tidak menganggu aktivitas agama lain.

Kerjasama juga intens dengan organisasi keagamaan seperti Barisan Ansor Serba Guna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU) menggelar kegiatan keagamaan dan sosial secara bersama.

Salah satunya menggelar panggung orasi jelang pemilihan presiden untuk menyatukan masyarakat agar tidak terpecah karena berbeda pilihan politik.

Brigade Meo pun menyadari kalau radikalisme bermuara pada penghancuran negara dan makar pada negara.

Bagi masyarakat, Pancasila adalah final dan negara aman dengan pancasila. Disadari pula kalau paham lain belum terbukti.

Brigade Meo menyadari penuh bahwa paham khilafah hanya berpihak pada satu agama dan bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat NTT.

Karena itu, kata Mersy, Brigade Meo hadir untuk membentengi masyarakat NTT dari paham radikalisme dan intoleransi.

Sejatinya Brigade Meo hadir guna menangkal radikalisma dan hal yang mengganggu kenyamanan beragama di NTT sehingga aksi yang dilakukan merupakan aksi peduli pada masyarakat.

Menyadari kalau mereka hadir sebagai penangkal radikalisme maka Brigade Meo juga membatasi kewenangannya dengan tidak mencaplok tugas kepolisian.

"Kami terpanggil sebagai warga negara untuk membela negara dengan tetap berkoordinasi dengan polisi jika ada proses hukum dari kegiatan yang dilakukan,” tegasnya.

Ia mengaku kepada seluruh anggota Brigade Meo telah ditanamkan idealisme sehingga Brigade Meo tidak menjadi alat tetapi memperjuangkan nilai dengan tetap menjaga idealisme.

Tidak hanya peduli pada masalah radikalisme, intoleransi, terorisme dan paham lain, Brigade Meo aktif melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan.

Ia memberi contoh, di awal masa pandemi Covid-19, Brigade Meo hadir melakukan aksi sosial melalui kegiatan penyemprotan disinfektan di seluruh jalur di Kota Kupang dan sejumlah rumah ibadah.

“Brigade Meo juga bergerak ke kampung-kampung memberikan bantuan sambil membantu memberikan pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat soal bahaya radikalisme dan terorisme,” ujarnya.

Masyarakat diminta waspada dan proaktif mewaspadai penyebaran ajaran lain selain Pancasila.

Brigade Meo yang diketuai Mercy Seubelan dan sekretaris Samy Soruh memiliki struktur organisasi yang jelas.

Ada yang ditunjuk sebagai panglima dilengkapi seksi humas, kerohanian dan sejumlah bidang lainnya.

Pengurus pun dibagi untuk menjadi koordinator wilayah Kota Kupang, Provinsi NTT serta sejumlah kabupaten.

Soal pendanaan kegiatan, Brigade Meo memiliki kas sendiri serta penggalangan dana dari usaha-usaha dana.

Brigade Meo sebut Mersy, sebagai pasukan dan kumpulan pahlawan yang menjaga NTT terus berkarya menghadirkan kedamaian bagi masyarakat NTT agar terhindar dari ketakutan akan isu radikalisme, intoleransi dan terorisme.

Imran Liarian, Wakil Komandan Banser Kota Kupang mengakui kalau organisasinya sudah lama menjalin kerjasama dengan Brigade Meo demi menjaga kerukunan dan keamanan di NTT.

Salah satunya mengamankankan perayaan hari-hari bersama umat beragama secara bersama-sama.

"Saat Paskah dan Natal maka Banser NU mengamankan gereja-gereja. Sementara saat taraweh atau malam takbiran jelang Idul Fitri maka rekan-rekan Brigade Meo yang rata-rata beragama Kristen ikut membantu menjaga dan mengamankan kegiatan keagamaan yang ada," tandasnya.

Banser NU pun selalu bergandengan tangan dengan Brigade Meo maupun organisasi atau pihak manapun yang memiliki visi dan misi yang sama menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat serta menjalin kerukukan dan toleransi termasuk menangkal radikalisme di NTT. ***

 

 

Keywords :

FOLLOW US