• Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Presiden Jokowi Jangan Teken Ranperpres PKUB

Reli Hendrikus | Kamis, 17/10/2024 20:51 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Presiden Jokowi Jangan Teken Ranperpres PKUB foto ilustrasi

KATANTT.COM--Koalisi Masyarakat Sipil “Tolak Penandatanganan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB)”, saat ini mengeluarkan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo untuk tidak menandatangani Ranperpres PKUB sebelum dilakukan perbaikan.

Perumusan peraturan ini harus memastikan adanya partisipasi publik secara terbuka serta diakomodirnya jaminan hak kemerdekaan beragama/berkepercayaan serta hak beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (sesuai jaminan Pasal 28 E ayat 2, Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Selain surat terbuka, anggota koalisi ini baik secara kelembagaan maupun individu juga mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani Ranperpres PKUB.

Upaya ini dilakukan sebagai tindaklanjut dari petisi melalui https://chng.it/96JCCN2MyC yang dirilis pada 3 Oktober 2024 dan sudah ditandatangi oleh 1.129 orang di mana Koalisi Masyarakat Sipil mengajak semua elemen untuk melakukan seruan penolakan Ranperpres PKUB. Ranperpres PKUB tersebut masih memuat beberapa hal yang bisa menyulut konflik antarumat beragama dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Ranperpres PKUB belum mampu menjamin hak beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.  

Menurut Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Angka peristiwa ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pemantauan pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Dari seluruh pelanggaran ini, trend pelanggaran pada 2023 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah masih terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam tujuh tahun terakhir.

Sepanjang tahun 2023, terdapat 65 gangguan tempat ibadah. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan gangguan yang terjadi dalam lima tahun terakhir, yaitu 50 tempat ibadah (2023) 44 tempat ibadah (2021), 24 tempat ibadah (2020), 31 tempat ibadah (2019), 20 tempat ibadah (2018) dan 16 tempat ibadah (2017). Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada tahun 2023, sebanyak 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa Vihara. Artinya persoalan ini adalah persoalan seluruh umat beragama/kepercayaan.

Kasus-kasus tersebut secara umum dipicu oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Tahun 2006, Nomor: 9 dan Nomor: 8 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM Dua Menteri), terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah. Kebijakan PBM cukup kuat jika dijadikan alasan sebagai kebijakan penyumbang kekerasan berbasis agama, baik kekerasan yang dilakukan antarumat beragama maupun yang langsung dilakukan oleh aparatur negara.

Seolah ada harapan baru bagi Masyarakat Indonesia terhadap permasalahan ini, ketika negara berinisiatif menyusun kebijakan tentang kerukunan umat beragama yang lebih tinggi dan kuat, yaitu Ranperpres PKUB untuk menjawab kondisi intoleransi akibat PBM Dua Menteri. Namun, pada kenyataannya Ranperpres PKUB yang telah disusun oleh pemerintah sama sekali tidak menjawab permasalahan yang selama ini terjadi, bahkan sebaliknya, substansi kebijakan tersebut malah akan memperkuat masalah dan memperparah kondisi pemenuhan hak beragama atau berkeyakinan dan berkepercayaan, terutama hak beribadah.

Berikut beberapa alasan kuat bahwa Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama untuk tidak ditandatangani:

  1. Materi draft Ranperpres PKUB masih rentan diskriminatif dan dinilai tidak inklusif, di antaranya masih memuat syarat 90 pengguna dan 60 dukungan masyarakat sekitar ketika hendak membangun rumah ibadah. Seharusnya hal ini dikaji lebih dalam, mengingat ini merupakan hak dasar yang dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945. Begitu juga dengan hak bagi masyarakat yang memeluk kepercayaan, perlu dijamin dalam Perpres tersebut yang seharusnya dapat berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.
  2. Ranperpres PKUB disusun secara serampangan dan tanpa partisipasi masyarakat sipil. Pada draft Perpres PKUB yang terakhir, terutama, tidak melibatkan masyarakat sipil, termasuk penganut atau organisasi agama atau kepercayaan yang selama ini terdampak. Hal ini dapat dilihat dari: 
  • Kesulitan mengakses draft terakhir Ranperpres PKUB ini;
  • Tidak dibukanya ruang diskusi dan konsultasi draft terakhir Perpres PKUB bagi komunitas/masyarakat yang terkena dampak.

 

  1. Materi draft Ranperpres PKUB ini juga memberikan batas waktu dalam pengurusan ijin selama 30 hari apabila tidak terpenuhi dalam jangka waktu tersebut maka dengan sendirinya dinyatakan tidak melakukan pengajuan perijinan.
  2. Dalam draft terakhir Ranperpres PKUB (6 Agustus 2024) menyebutkan terkait izin terhadap Rumah Ibadat Sementara salah satu syaratnya adalah bukan rumah tinggal. Bagian ini menunjukkan bahkan izin mendirikan rumah ibadah sementara syaratnya dipersulit dan rumah tinggal pun tidak bisa digunakan sebagai rumah ibadah sementara. Ke mana kelompok minoritas bisa beribadah?

 

Dengan berbagai catatan kritis di atas, Koalisi Masyarakat Sipil “Tolak Penandatanganan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB)” meminta Presiden untuk tidak menandatangai Ranperpres PKUB tersebut.

 Koalisi Masyarakat Sipil “Tolak Penandatanganan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB)” terdiri dari Yayasan CIS TIMOR Indonesia, YKPI, Task Force KBB, SEJUK, Sobat KBB, KOMPAK, KOMPAS, SETARA Institute, YLBHI, AJI Indonesia, Imparsial, SALT Indonesia, Yayasan Satu Keadilan (YSK), The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Task Force KBB, GEREJA HKI, ALIANSI ADVOKASI KBB KALTIM, Pelita Padang, MLKI, BPW-GBI Kabupaten Belu, LKIS, Koalisi Lintas Isu (KLI), YIP.Center, YLBHI - LBH Yogyakarta, KOALISI NGO HAM, KontraS Aceh, YLBHI-LBH Banda Aceh, SP Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Flower Aceh, YouthID, Asia Young People Action (AYA), Youth Forum Aceh (YFA), AJI Yogyakarta, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT), Jaringan GUSDURian, Human Rights Working Group (HRWG).

FOLLOW US