• Nasional

Ini Penjelasan KPK Terkait Alasan Klasik APH di NTT Lama Tangani Kasus Korupsi Tunggu Hasil Audit

Imanuel Lodja | Kamis, 20/10/2022 14:34 WIB
 Ini Penjelasan KPK Terkait Alasan Klasik APH di NTT Lama Tangani Kasus Korupsi Tunggu Hasil Audit Inilah kondisi fisik bangunan RSP Boking senilai Rp 30 miliar yang dibangun sejak 2017 silam mengalami kerusakan parah. Sejak dibangun RSP Boking tidak pernah difungsikan sebagaimana mestinya karena tengah ditangani penyidik Polda NTT di mana salah satu alasannya masih menunggu hasil audit BPKP Perwakilan NTT sampai kini belum jelas kasusnya.

KATANTT.COM--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak Aparat Penegak Hukum (APH) di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengakselerasi penanganan perkara tindak pidana korupsi. Sehingga, penanganannya dapat dilakukan secara efektif, efisien, dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di hadapan Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Pengadilan Tinggi, Kepala BPK, dan Kepala BPKP beserta para jajarannya di wilayah NTT, dalam Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi, Rabu (19/10/2022).

“Sering terjadi, kenapa penanganan perkara korupsi itu lama? Itu alasannya sering klasik, karena menunggu laporan audit kerugian keuangan negara dari BPK, BPKP, atau Inspektorat. Padahal, Putusan MK sudah jelas dan harus jadi pedoman kita, bahwa penyidik sendiri bisa menghitung kerugian negara. Cara itu sebetulnya bisa mengakselerasi penanganan perkara korupsi,” kata Alex.

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Alex menjelaskan, tidak semua persoalan korupsi kerugian keuangan negara harus melalui audit. Sebab, hasil audit tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan, melainkan hanya membantu hakim memahami pokok perkara.

“Apakah hasil audit boleh di-challenge? Boleh. Kalau hakim punya keyakinan lain menyangkut kerugian negara? Boleh. Karena, pada akhirnya, yang menentukan ada-tidaknya kerugian negara dalam korupsi adalah hakim,” ujar Alex.

Oleh karenanya, Alex menyarankan agar aparat penegak hukum tidak hanya bergantung pada laporan audit perhitungan kerugian keuangan negara untuk membuktikan tindak pidana korupsi. “Tidak ada satupun peraturan, yang menyebut adanya kerugian keuangan negara harus dari audit,” ujar Alex.

Di sisi lain, Alex juga menyarankan agar penegak hukum lebih memperkuat pembuktian mens rea atau niat jahat pelaku tindak pidana korupsi. Karena, dilakukannya perbuatan tidak serta merta menjadi korupsi, melainkan harus ada mens rea hingga perbuatan itu selesai.

“Pemahaman itu harus kita bangun, saya selalu sampaikan korupsi itu perbuatan yang disengaja, bukan karena kelalaian. Tindakan yang disengaja, terencana, dan dia sadar dampak dari perbuatan itu akan menyebabkan kerugian negara, itu harus disadari dari awal,” tegas Alex.

Koordinasi dan Supervisi Penanganan Perkara

Di sisi lain, sebagai pelaksanaan tugas Koordinasi dan Supervisi yang diamanatkan pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK berwenang menerima informasi penyidikan perkara yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian. Oleh karenanya, KPK mengembangkan e-SPDP agar instansi penegak hukum lain mudah memberitahukan perkara yang disidiknya kepada KPK.

“Namun, berdasarkan catatan kami, ternyata di wilayah NTT belum semua dilakukan pelaporan ke KPK. Pada 2022, SPDP dari Polda NTT dan jajarannya baru ada 10, 71,4%. Sedangkan dari Kejaksaan Tinggi NTT dan jajarannya baru ada 17 atau 43,6%. Ini menjadi perhatian, kenapa baru sedikit? Padahal informasi itu jadi dasar monitoring KPK,” ujar Alex.

Oleh karenanya, Alex mengimbau agar APH di NTT melengkapi laporan e-SPDP berdasarkan seluruh perkara yang ditanganinya. Sehingga, KPK dapat melihat perkara yang berlarut-larut untuk dilakukan supervisi.

“Mudah-mudahan dengan e-SPDP kita bisa saling terbuka, tidak ada kepentingan lain selain penegakan hukum, tapi kalau Sprindik itu tidak disampaikan, itu jadi persoalan,” kata Alex.

Alex berharap melalui upaya tersebut, maka perkara bisa cepat ditangani oleh penegak hukum di NTT. Jika terdapat kendala penanganan perkara, Alex meminta agar APH setempat melakukan koordinasi dengan KPK.

“Sebagai pelaksanaan supervisi, KPK bisa memberikan fasilitasi penanganan perkara, seperti pencarian DPO, pemeriksaan fisik, pelacakan aset, pemberian keterangan ahli, dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan, yang ditanggung biayanya oleh KPK,” ujar Alex.

Penyelesaian Kendala

Menanggapi hal tersebut, Inspektur Pengawas Daerah Polda NTT Zulkifli menyampaikan kesiapannya untuk bersinergi bersama KPK untuk memberantas korupsi di NTT. Karena, saat ini pihaknya mengalami beberapa kendala dalam penanganan perkara korupsi.

“Masih ada perkara yang belum bisa diselesaikan karena objek perkara berada di luar wilayah NTT dan ada perkara yang masih terjadi perbedaan pendapat antara penyidik dan jaksa peneliti sehingga perkara menjadi bolak balik P-19,” jelas Zulkifli.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, Hutama Wismu menyampaikan sejumlah permasalahan yang menyebabkan berkas perkara korupsi dinyatakan tidak lengkap. Mulai dari perbedaan penafsiran terhadap suatu pasal dan alat bukti, hingga perbedaan pendapat menyangkut kerugian keuangan negara.

“Untuk itu, pertemuan ini menjadi penting untuk menyamakan pendapat dalam perhitungan kerugian keuangan negara,” kata Hutama.

Kemudian Kepala Perwakilan BPKP Provinsi NTT Sofyan Edison menyampaikan dukungannya kepada APH dalam pengungkapan korupsi melalui perhitungan kerugian keuangan negara. Sampai September 2022, Sofyan telah menyelesaikan 6 laporan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara.

“Kami juga sudah memberikan 6 kali keterangan ahli kepada penyidik dan keterangan pada persidangan kasus korupsi sebanyak 5 kali,” jelas Sofyan.

 

FOLLOW US