• Nasional

Riset Terbaru Konde.co: Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual "Non-Normatif"

Djemi Amnifu | Rabu, 19/01/2022 18:54 WIB
 Riset Terbaru Konde.co: Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual "Non-Normatif" ilustrasi_lgbt

KATANTT.COM--Pada hari ini, Rabu, 19 Januari 2022, Konde.co meluncurkan hasil penelitian berjudul “Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif (‘LGBT’)”. Penelitian yang didukung oleh USAID dan Internews ini berangkat dari kegelisahan tim peneliti yang terdiri dari: Widia Primastika, Marina Nasution, Lestari Nurhajati, Dina Listiorini, Luviana dan Reka Kajaksana yang seringkali melihat pemberitaan terkait komunitas “LGBT” dengan isi berita yang mengandung stigma, subordinasi, dan diskriminasi.

Penelitian yang dimulai sejak Agustus 2021 ini bertujuan untuk mengetahui pembingkaian media mengenai kelompok atau komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif (“LGBT”), mengetahui kebijakan redaksi dan
manajemen redaksi dalam pemberitaan mengenai kelompok atau komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif, dan mengetahui ada atau tidaknya dampak yang dirasakan oleh para jurnalis dengan identitas non-heteroseksual atau non-biner terhadap kebijakan redaksi maupun manajemen perusahaan media.

“Dari amatan kami (para peneliti-red), sejauh ini memang belum ada riset yang secara telaten meneliti seperti apa sebetulnya kebijakan redaksi media terhadap isu yang berkaitan dengan komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif ini. Dan kita tahu ya bahwa kebijakan redaksi itu menjadi salah satu basis yang sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil pemberitaan sebuah media,” ujar Widia Primastika, ketua peneliti riset ini.

Dalam riset ini, tim peneliti Konde.co melakukan 3 penelitian dengan menggunakan metode kualitatif yakni: 1) Riset framing media terhadap 10 media daring dalam periode Maret 2020 hingga Februari 2021; 2) Riset analisis kritis studi media terhadap kebijakan redaksi dengan melakukan wawancara mendalam terhadap kebijakan redaksi (4 media daring dan 2 media televisi) dalam memandang keragaman gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT); 3) Analisis wawancara mendalam terhadap 6 jurnalis dengan identitas keragaman gender dan seksual non-normatif untuk mengetahui dinamika atau perlakuan di redaksi terhadap keragaman gender dan seksual “non-normatif” serta dampak dari pemberitaan terhadap mereka.

Hasil Penelitian dalam riset framing, peneliti melakukan penelitian terhadap 10 media daring dengan pembaca terbanyak versi Alexa per 1 Juli 2021 yakni Okezone.com, Tribunnews.com, Kompas.com, Detik.com, Liputan6.com, Merdeka.com, Grid.id, Suara.com, Kumparan.com, Pikiran-rakyat.com.

Untuk mempersempit data yang dianalisis, peneliti memilih 3 berita dari 3 topik yang mendapatkan perhatian besar dari publik yakni pemberitaan tentang pembakaran Mira, transpuan di Cilincing yang dituduh mencuri; pemberitaan tentang prank yang dilakukan oleh Youtuber Ferdian Paleka terhadap transpuan di Bandung; pemberitaan tentang ‘pesta’ di apartemen Kuningan yang diselenggarakan oleh komunitas ‘gay’.

Dari penelitian ini, Konde.co menemukan bahwa media masih menggunakan kepolisian sebagai narasumber utama dalam pemberitaan kasus kriminalitas yang terkait dengan komunitas “LGBT”, hanya sedikit media yang memilih melakukan wawancara kepada korban atau tim advokasi dari komunitas “LGBT”.

“Temuan ini semakin mengamplifikasi temuan-temuan riset sebelumnya. Artinya, sampai saat ini, kepolisian masih memiliki porsi yang luas di media dan ini berpotensi juga dalam mempengaruhi persepsi publik terkait komunitas gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT),” sambungnya.

Selain itu, peneliti Konde.co juga melihat bahwa media masih menggunakan diksi dan sudut pandang yang berkonotasi negatif seperti bencong dan banci untuk menggambarkan komunitas transgender, serta diksi “sesama jenis”, “segolongan sama”, “ada belok-beloknya” untuk menggambarkan komunitas gay.

Bahkan dalam pemberitaan terkait prank yang dilakukan oleh Ferdian Paleka, ada media yang memberikan ruang kepada Ferdian Paleka untuk menjelaskan alasan ia melakukan prank dengan landasan norma agama.

Dalam wawancara mendalam terhadap pemangku kebijakan media, ada 6 pemangku kebijakan yang diwawancara peneliti, yakni 4 media daring dan 2 media televisi. Wawancara dilakukan mengingat adanya aturan diskriminatif terhadap komunitas “LGBT” yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Hasil riset Konde.co menemukan bahwa ada kepatuhan dari dua stasiun televisi terhadap KPI. Keduanya cenderung mengikuti aturan KPI terkait pelarangan “LGBT” karena adanya kepentingan rekomendasi perpanjangan izin siaran dari KPI.

Dari studi ini, Konde.co juga menemukan bahwa masih ada pemangku kebijakan televisi yang keliru memahami keragaman gender dan seksual non-normatif. Salah seorang pemimpin redaksi menyebutkan “LGBT” sebagai sebuah gaya hidup’ sehingga ‘tidak boleh dipromosikan’. Penyebutan ‘LGBT sebagai gaya hidup’ bukanlah penyebutan istilah yang benar dalam mendefinisikan “LGBT”.

Pun seperti halnya tidak ada penyebutan untuk istilah gaya hidup heteroseksual. Peneliti melihat ini sebagai sebuah catatan penting, sebab level pengetahuan isu di tingkat struktural teratas di sebuah media akan berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan redaksi secara keseluruhan.

Pengetahuan yang baik tentang keragaman gender dan seksual di media adalah hal penting karena media berperan dalam mempengaruhi cara pandang publik umum terhadap komunitas “LGBT” dan isu-isu kebijakan terkait. Representasi media dapat berdampak positif bagi anggota komunitas “LGBT”, khususnya di kalangan remaja yang seringkali mengalami tekanan sosial saat memiliki preferensi seksual yang berbeda.

Apabila media menampilkan keberagaman gender dan seksual secara positif dan tidak mendiskriminasi komunitas “LGBT”, maka masyarakat dapat menghargai hak asasi mereka sebagai individu.

Namun, dalam prakteknya, media tidak memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pemberitaan terkait isu “LGBT”. Ini terlihat dari kebijakan redaksi, baik di media televisi maupun media daring, yang belum memiliki panduan peliputan terkait keberagaman gender dan seksualitas.

Beberapa pemangku kebijakan media mengaku bahwa mereka memiliki panduan peliputan umum, hanya saja mereka tidak berkenan memperlihatkan aturan tersebut kepada tim peneliti karena dianggap sebagai rahasia perusahaan.

Di media daring, peneliti Konde.co menemukan adanya batas yang samar antara penulis berita dari kelompok jurnalis dan content creator. Dalam wawancara yang dilakukan tim peneliti Konde.co, pemangku kebijakan redaksi mengatakan bahwa content creator bertugas untuk menemukan rumusan dalam mendulang viewers.

Posisi ini memiliki berbagai kebijakan tersendiri yang tidak bisa dicampuri oleh pihak redaksi. Permasalahan lain di media daring yang menjadi temuan peneliti Konde.co yakni beban peliputan jurnalis yang relatif banyak yakni 10-12 berita per hari.

Tingginya beban peliputan ini menjadikan para jurnalis dikejar jumlah kuantitas berita, dan berpotensi melupakan kualitas dari pemberitaan yang dihasilkan.

Saat melakukan wawancara mendalam dengan pemangku kebijakan redaksi media daring, tim peneliti menggali alasan penggunaan pihak polisi sebagai narasumber utama dalam pemberitaan kriminalitas. Dari penelitian ini, media daring masih meyakini bahwa polisi adalah otoritas pengambil kebijakan atas peristiwa kriminal.

Hal tersebut terlihat dari penempatan jurnalis di pos khusus kepolisian. Selain tak memiliki kebijakan khusus terkait komunitas dengan keberagaman gender dan seksual, dari riset ini, tim riset mengetahui bahwa media tidak memiliki kebijakan untuk menyelenggarakan pelatihan terkait penulisan isu keragaman gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT”).

Hasil wawancara mendalam terhadap 6 jurnalis yang memiliki identitas keragaman gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT”) menunjukkan bahwa jurnalis tak hanya “menghadapi’ konten dan kebijakan redaksi, namun juga lingkungan kerja. Mereka mengakui bahwa redaksi masih kental dengan kultur homophobia dan transphobia. Kultur ini menjadikan jurnalis merasa tidak nyaman. Kultur homophobia di ruang redaksi ini berimbas pada pemberitaan.

Dalam penelitian ini, kami juga menemukan bahwa salah satu hal yang menjadi kekhawatiran media dalam menyuarakan keberagaman gender dan seksualitas dengan perspektif yang lebih progresif karena khawatir digeruduk oleh kelompok fundamentalis berbasis agama.

Rekomendasi

Melihat kondisi ini, Konde.co berharap agar dengan penelitian ini, media dapat mengambil kebijakan seturut hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia dengan prinsip non-diskriminasi antara lain terhadap individu atau kelompok/komunitas dengan keragaman gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT”).

Temuan kami terkait adanya kesenjangan pengetahuan antar awak redaksi juga menunjukkan bahwa pendidikan pengetahuan tentang ideologi patriarki dan SOGIE-SC penting diberikan di tingkat redaksi agar dapat menguatkan perspektif.

Melalui riset ini, kami juga merekomendasikan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mereformasi diri dan tidak menerapkan tindakan-tindakan diskriminatif yang menyebabkan ketakutan terhadap media dalam isu keberagaman gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT”).

Selain itu, kami juga merekomendasikan agar Dewan Pers mendorong media untuk mempunyai kebijakan agar sensitif terhadap persoalan gender dan minoritas. Lalu membentuk panduan peliputan sensitif gender dan keragaman gender dan seksual. Panduan ini penting untuk mendorong ruang redaksi agar bersikap lebih adil kepada komunitas gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT”).

FOLLOW US