Taman Lingsar NTB Simbol Toleransi Saling Hargai, Kata Kunci Toleransi Umat Beragama Terjaga

Anna Djukana | Rabu, 04/12/2024 09:15 WIB

HARI masih pagi saat dua rombongan bus para jurnalis yang sementara mengikuti Lombok Digital Storytelling Course di Kota Mataram, NTB, yang diselenggarakan ABC International Develompment (ABCID), tiba di Desa Lingsar, Sabtu (16/11). Jarak dari Kota Mataram ke Taman Lingsar, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat sekitar delapan kilometer ditempuh dalam waktu 20-an menit. Perempuan Hindu membawa sesajen di Pura Gaduh, Taman Lingsar, Sabtu, 16 November 2024.

MATARAM, KATANTT.COM--HARI masih pagi saat dua rombongan bus para jurnalis yang sementara mengikuti Lombok Digital Storytelling Course di Kota Mataram, NTB, yang diselenggarakan ABC International Develompment (ABCID), tiba di Desa Lingsar, Sabtu (16/11). Jarak dari Kota Mataram ke Taman Lingsar, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat sekitar delapan kilometer ditempuh dalam waktu 20-an menit.

Meski masih pukul 09.00 pagi tetapi panas matahari cukup menyengat seperti ingin membakar kulit orang yang berkunjung ke sana dan mengabaikan banyaknya pepohonan rindang yang tumbuh di Kompleks Taman Lingsar. Para jurnalis langsung mengambil gambar berupa foto dan video sejumlah objek yang dianggap penting untuk liputan.

Di tepi jalan masuk ada ibu-ibu yang menjual minyak waru. Minyak waru ini menurut para penjual berkhasiat menyembuhkan kulit yang gatal-gatal. Ibu-ibu dan anak-anak menawarkan minyak yang dijual sebotol dengan harga Rp 50.000,- kepada para pengunjung Taman Lingsar.

“Beli bu, beli bu, untuk beli buku bu,” kata seorang anak perempuan. Tak lama lagi seorang anak laki laki mengikuti langkah pengunjung yang berkeliling dan menawarkan minyak waru. “Beli bu, beli bu untuk beli buku”.

Baca juga :

Dalam Taman Lingsar kepala desa dan beberapa tokoh sudah menunggu di pendopo. Jurnalis langsung mengikuti keterangan pers dari kepala desa dan beberapa tokoh tersebut yang bercerita tentang keharmonisan kedua warga yang berbeda agama yakni Suku Sasak, Muslim dan warga yang beragama Hindu.

Saling menghargai adalah kata kunci untuk menjaga keharmonisan dan toleransi antara umat beragama Hindu dan Suku Sasak, beragama Islam yang hidup berdampingan di Taman Lingsar, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Hal itu disampaikan Kepala Desa Linsar, Sahyam, didampingi Tokoh Agama, Kiai Sahirman, Pengurus Kemaliq Lingsar, Arman Hardi dan Jamhur Hakim, Juru Pelihara Situs Kemaliq, kepada para jurnalis media cetak, elektronik dan media online.

Dia menegaskan Taman Lingsar merupakan bukti, simbol kerukunan antar umat beragama. Dicontohkannya yang beragama Hindu makan daging babi tetapi tidak boleh membawa daging babi masuk ke area Taman Lingsar, begitupun Suku Sasak tidak boleh menyembelih sapi di lokasi tersebut karena sapi adalah binatang yang dianggap suci oleh Umat Hindu. “Kedua larangan ini dihargai kedua belah pihak sehingga tercipta keharmonisan,” ungkapnya.

Menurut dia, kerukunan antar umat beragama yakni Hindu dan Islam, Suku Sasak tetap dijaga, dirawat dan dilestarikan untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia dan masyarakat Internasioanal, meski hidup berdampingan dan berbeda agama tetapi tidak pernah terjadi konflik.

Sumber Beranda Info Budaya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Taman Lingsar menyebutkan Taman Lingsar merupakan peninggalan masa pemerintahan Raja Ketut Anglurah Karangasem Singosari dan didirikan pada Tahun 1759.

Nama Pura Lingsar kemudian diganti menjadi Taman Lingsar setelah Raja Anak Agung Made Karangasem membangun kembali pura ini pada akhir abad XIX. Kala itu, ia membangun dua bangunan tempat ibadah untuk dua agama yang berbeda yaitu Pura Gaduh untuk pemeluk agama Hindu dan bangunan Kemaliq untuk masyarakat Sasak Penganut Agama Islam.

Pembangunan Taman Lingsar dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah masyarakat Suku Sasak dengan masyarakat Bali yang beragama Hindu. Selanjutnya Pengurus Kemaliq Limsar, Arman Hardi mengemukakan di dalam Taman Lingsar ada dua bangunan tempat ibadah, yaitu Pura Gaduh untuk pemeluk agama Hindu dan Kemaliq untuk masyarakat Sasak penganut Agama Islam Waktu Telu.

Taman Lingsar dibagi menjadi empat halaman, yaitu jaba Nista, Jaba Mandala, Jaba Utama dan Bencingah. Sumber website Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menyebutkan nama Pura/Kemaliq Lingsar mulai muncul ketika orang Bali pertama kali datang ke Lombok. Rombongan orang Bali tersebut berasal dari Karangasem yang jumlahnya kurang lebih 80 orang.

Kedatangan mereka mendarat di Pantai Barat dekat Gunung Pengsong, rombongan raja tersebut melanjutkan perjalanan ke Perampuan, lalu ke Pagutan kemudian ke Pagesangan. Rombongan ini dipimpin oleh tiga orang.

Dari Pagesangan, rombongan berjalan kaki tetapi belum menemukan tanda. Setiba rombongan di daerah Punikan, seluruh anggota rombongan merasa haus dan lapar sehingga beristirahat untuk makan dan minum. Setelah selesai makan tiba-tiba ada suara letusan dan bergemuruh.

Selanjutnya mereka mencari asal suara tersebut ternyata adalah sebuah mata air yang baru meletus, lalu ada wahyu mengatakan kalau menguasai Lombok buatlah Pura di sini. Luapan air itu diberi nama Ai’ Mual yang artinya air yang mengalir. Selanjutnya nama Ai’ Mual berubah menjadi Lingsar.

Lingsar berasal dari kata Ling artinya wahyu atau sabda dan sar artinya syah atau jelas. Jadi Lingsar artinya wahyu yang jelas. Jamhur Hakim, Juru Pelihara Situs Kemaliq menegaskan kehidupan harmonis, hidup berdampingan dua suku berbeda dan agama yang berbeda dengan merawat ritual seperti ini diyakininya di dunia hanya ada di Lingsar.

Perang Topat

Pada kesempatan tersebut Arman Hardi menuturkan tentang Perang Topat sebagai symbol persaudaraan dan perdamaian antara umat Islam, Suku Sasak dan Umat Hindu suatu tradisi tahunan yang diselenggarakan di Taman Lingsar.

Tradisi ini ungkapnya telah berlangsung turun-temurun selama ratusan tahun yang mencerminkan kerukunan masyarakat Lombok Barat yang memeluk agama Islam dan Hindu. Pesan dari tradisi ini yakni merawat toleransi dan pluralisme.

Menurut dia, ritual ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur panen yang melimpah. Biasanya, ritual ini dilaksanakan pada hari ke-15 bulan -7 (tujuh) dalam penanggalan Suku Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu.

Ritual diawali dengan upacara di kemalik di Pura Lingsar di mana masyarakat Hindu dan Muslim Sasak saling melempar ketupat sebagai bentuk komunikasi dan kebersamaan.

Ritual ini diramaikan dengan Tarian Gendang Beleq, Baris Lingsar, Tari Perang Topat dan Gerobak Sasak. Tujuan Perang Topat ini katanya sebagai suatu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran yang dilimpahkan seperti kesuburan tanah, air hujan, panen hasil pertanian.

Ketupat-ketupat yang dipakai kedua kelompok untuk saling melempar setelah itu dibawa pulang oleh masyarakat khususnya para petani untuk dijadikan pupuk di sawah dan kebun. Masyarakat meyakini ketupat-ketupat tersebut dapat dipergunakan sebagai bubus untuk pupuk yang ditaburkan di sawah atau di kebun pada malam hari sambil memohon kepada Yang Maha Kuasa memberikan kesuburan bumi ddan hasil pertanian yang melimpah.

Menurut dia, Perang Topat ditandai dengan gugurnya bunga waru atau dalam bahasa Sasak disebut “raraq kembang waru”. Sebelum Perang Topat dimulai, umat Hindu akan melakukan upacara Pujawali Piodalan Pura Lingsar di Pura. Setelah bunga waru gugur, prosesi Perang Topat dimulai dengan menggelilingkan sesajian di Purwadaksina.

Perang Topat dimulai ketika tokoh yang dihormati kedua kubu melempar ketupat secara simbolis. Selanjutnya ketupat diperebutkan karena diyakini akan membawa kesuburan pada tanaman.

Tokoh Agama Kiai, Sahirman menjelaskan sebelum Anak Agung datang ke Lingsar sudah ada penyiar Agama Islam Wetu Telu yang Bernama Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin.

Dari website Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menyebutkan Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah masyarakat Sasak dengan masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan masyarakat Sasak.

Jauh sebelumnya, di lokasi ini Suku Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq berasal dari kata maliq dalam Bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci.

Sumber mata air tersebut oleh Suku Sasak dikeramatkan atau disucikan karena tempat tersebut diyakini mereka sebagai tempat hilangnya (moksa) seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu Bernama Raden Mas Sumilir.
Kepala desa dan beberapa tokoh tersebut berharap tradisi ini tetap dirawat dan dilanjutkan oleh generasi penerus untuk menjaga toleransi dan dan pluralism.

TAGS : NTB Taman Lingsar Simbol Toleransi Umat Beragama