• Nusa Tenggara Timur

NTT (Masih) Rawan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Imanuel Lodja | Sabtu, 27/05/2023 16:34 WIB
NTT (Masih) Rawan Tindak Pidana Perdagangan Orang Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah saat memberikan keterangan kepada wartwan terkait status darurat TTPO di Provinsi NTT saat kunker ke Kupang, Jumat (27/5/2023).

KATANTT.COM--Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), menyebutkan Provinsi NTT masuk dalam rawan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Hal ini karena hingga saat ini residivis TPPO masih melakukan perekrutan calon PMI non prosedural. "NTT rawan TPPO, minim koordinasinya. Kita bisa mengamati banyak residivis pelaku TPPO di NTT, tetapi sampai hari masih terus beroperasi. Kita kemarin sempat memergoki residivis TPPO sudah dua kali pernah dipenjara bahkan masih merekrut anak-anak kemudian ditampung pada suatu tempat penampungan," ujar Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah, di Kupang, kmearin.

Salah satu kendala di NTT yakni penegakan hukum yang masih belum efektif dalam penegakan hukum bagi pelaku TPPO
"Dari aspek penegakan hukum ada ketidaksamaan persepsi dari aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan terkait dengan TPPO sendiri," tambah Anis.

Menurutnya, kerap terjadi penegakan hukum di NTT bagi pelaku TPPO diberikan vonis yang ringan. "Sehingga dalam penegakan kasus TPPO itu, sering terjadi vonisnya ringan. Kemudian ada yang gunakan undang-undang keimigrasian jatuhnya adalah perdagangan orang bukan TPPO, itu hukumannya lebih ringan," jelasnya.

Ia menjelaskan, masyarakat NTT yang kerap menjadi calon PMI non prosedural kerap melakukan pembuatan dokumen diri yang palsu. "Banyak masyarakat NTT, yang mulai dari KTP hingga paspor itu dikeluarkan oleh wilayah lain dengan data diri yang palsu. Kami melihat kenapa penegakan hukum TPPO di NTT ini belum efektif," bebernya.

Anis menilai, dari asek pencegahan TPPO di NTT masih sangat minim baik di NTT maupun di beberapa kabupaten. "Dari aspek pencegahan, baik dari tingkat pemerintah provinsi maupun kabupaten, walaupun telah dibentuk Satgasnya di NTT masih belum maksimal," tambahnya.

Ia juga menyayangkan, pelaku TPPO yang kerap diamankan hanya pekerja lapangan dan aktor intelektual jarang dapat tersentuh hukum.

"Selalu yang dihukum itu hanya pelaku lapangan, yang memang keuntungannya sedikit dari perdagangan orang ini, karena aktor intelektualnya ini bisa juga melibatkan baik itu aparat penegak hukum, maupun oknum pemerintah," tandasnya.

Hari Kurniawan, Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, menjelaskan Komnas HAM hadir di NTT untuk memantau secara dekat bagaimana TPPO yang terjadi di Provinsi NTT.

"Tujuan kehadiran Komnas HAM ke NTT selama beberapa hari ini, bertujuan untuk melakukan pemantauan tentang TPPO. Bagaimana praktek TPPO yang ada di NTT, dalam konteks pencegahan dan penanganannya seperti apa. Kemudian bagaimana keadan korban-korban TPPO didalam pemenuhan hak-haknya," jelas Kurniawan.

Ia mengaku, NTT untuk saat ini sangat minim untuk koordinasi antar stakeholder dalam pencegahan TPPO. Hal tersebut ditemukan selama melakukan pendalaman di NTT.

"Koordinasi terkait TPPO di NTT, dengan stakeholder baik itu pemerintah provinsi dan kabupaten, BP3MI, dan APH. Sejak hari senin hingga kamis ini, ada beberapa temuan yang dihasilkan dari kunjungan lapangan kami. Pertama terkait kebijakan TPPO, baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang kita temui," jelasnya.

Menurut dia, di NTT ada dua kabupaten yang menjadi sampel Komnas HAM dalam penelusuran TPPO. "Ada dua wilayah yang menjadi sampel kita di NTT, yakni di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, kenapa kita memilih dua kabupaten ini karena tingkat TPPO-nya tertinggi se-NTT, sehingga kami memilih dua kabupaten itu," tambahnya.

Ia menambahkan, walaupun NTT telah memilik peraturan terkait TPPO namun penindakan dilapangan masih belum efektif. "Kami menemukan bahwa sudah ada peraturan daerah, baik perda NTT maupun perda kabupaten terkait TPPO. Namun walaupun sudah ada semua aturan itu, pelaksanaannya seperti berjalan ditempat pelaksanaannya. Jadi ketika kita ngumpul bersama SKPD mereka selalu berkilah menyangkut anggaran aedikit sehingga tidak bisa sosialisasi untuk melakukan pencegahan ke daerah-daerah," tandasnya.

"Koordinasi antara SKPD tidak berjalan, dan tidak ada program pemerintah apapun bagi orang yang TPPO, pasca kembali ke daerah. Ironisnya, justru kami di Kabupaten Kupang, Komnas HAM dianggap sebagai tukang kredit sehingg surat tidak digubris sama Pemerintah Kabupaten Kupang," lanjutnya.

FOLLOW US