• Nusa Tenggara Timur

Memupuk Asa Petani di NTT Merawat "Mutiara Hijau" Bernama Rumput Laut

Djemi Amnifu | Jum'at, 22/10/2021 08:11 WIB
 Memupuk Asa Petani di NTT Merawat "Mutiara Hijau" Bernama Rumput Laut Petani rumput laut, Yandri Lay (kiri) sementara membersihkan rumput laut hasil panen untuk dijadikan bibit bersama petani rumput lain di Desa Lifuleo, Rabu (20/10/2021).

katantt.com--Hari belum terlalu siang namun panas matahari terasa sangat menyengat meski waktu baru menunjukkan pukul 09.00 wita, saat belasan petani rumput laut di Desa Lifuleo Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara sudah turun ke pantai. Ternyata, mereka sementara panen rumput laut untuk dijadikan bibit sebelum kembali dilepas kembali ke laut setelah diikat pada seutas tali nilon.

Memang masyarakat Desa Lifuleo, sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani budidaya rumput laut. Jika cuaca sedang baik, maka hasil panen rumput laut juga akan baik, namun jika cuaca sedang tidak baik (akibat perubahan musim) seperti suhu air laut meningkat, penyakit atau terjadi badai, maka nelayan tidak akan mendapat apa-apa. Mereka akan sangat merugi dan usaha selama berbulan-bulan itu akan berakhir sia-sia.

Salah satu desa di kecamatan di Kupang Barat bernama Desa Lifuleo memiliki pemandangan yang sangat indah atau lebih dikenal dengan nama Pantai Air Cina. Hamparan pasir putih dan laut yang biru, merupakan salah satu potensi alam yang menjadi daya tarik wisata di Desa Lifuleo.

"Hari ini, panen terakhir untuk kami jadikan bibit. Kami tidak perlu beli bibit lagi, cukup hasil panen terakhir ini kita ikat kembali di tali kemudian dilepas ke laut. Semoga sebelum, musim hujan nanti, kita sudah bisa panen lagi," kata Yandri Lai, salah satu petani rumput laut di Pantai Oesina yang ditemui media ini, Rabu (20/10/2021).

Bersama petani rumput laut yang lain, Yandi Lay, menyebut bahwa menjadi petani rumput sudah menjadi mata pencaharian mereka. Dengan masa tanam hanya 45 hari, dalam setahun, Yandri Lay bersama petani rumput laut yang lain di Desa Lifuleo bisa tujuh kali panen, dengan hasil bervariatif sesuai dengan masa pertumbuhannya.

"Kali ini, saya bersyukur bisa panen sampai 500 kilogram (rumput laut kering) dan harga pas lagi bagus yakni Rp 20.500 per kilogram. Jadi silahkan hitung sendiri saja," ujar Yandri.

Pengakuan Yandri Lay ini diamini petani rumput lain lainnya, Dodi Masu, Elisabeth Lay dan Frengki Kedoh bahwa meski sama-sama menanam rumput laut di Pantai Oesina namun hasil panen tidak sama. "Saya kali ini sedikit saja, tidak sampai 200 kiligram. Dia (Yandri Lay Red) yang kali ini panen banyak sampai 500 kilogram," kata Dodi Masu.

Di masa pandemi Covid-19, baik Yandri Lay, Dodi Masu, Frengki Kedoh dan Elizabeth Lay bersyukur karena harga rumput laut mulai membaik. Jika sebelumnya, rumput laut hasil panen mereka dihargai kisaran Rp 10.000 - Rp 15.000 per kilogram, justru sekarang mencapai harga Rp 20.000 per kilogram.

Yandri Lai meraup Rp 10 juta dari hasil panen rumput laut, sementara Dodi Masu senilai Rp 6 juta dan Frengki Kedoh sekitar Rp 4 juta semendatara Elizabeth Lay mendapat hasil Rp 5 juta.

"Ini kami punya kerja, jadi kami berharap pemerintah tetap bantu jaga harga rumput laut bisa stabil yaitu Rp 20.000 per kilogram. Dari sini, kami bisa beli beras dan makan sehari-hari dan bisa kasih sekolah anak-anak," kata Dody Masu yang berhasil menyekolahkan dua anaknya ke perguruan tinggi.

Baik Yandri Lay, Dodi Masu, Frengky Kedoh dan Elizabeth Lay bersama ratusan rumput laut lainnya di Desa Lifuleo dan desa tetangga lainnya mengaku was-was dengan kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap milik PT PLN (Persero) yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Pantai Oesina.

Kekhawatiran mereka apabila Pelabuhan PLTU sudah beroperasi kemudian limbahnya akan mencemari Pantai oesina dan berdampak kepada budidaya rumput laut oleh mereka selaku petani rumput laut. "Kita harap, limbahnya dikelola dengan baik dan tidak mencemari perairan di Pantai Oesina. Di Bolok (desa tetangga Red) petani dong mengeluh karena limbah PLTU sudah mencemari perairan di sana," kata Yandri Lay.

Kekuatiran para petni ini mendapat reaksi pemerintah setempat oleh Camat Kupang Barat, Yusak Ulin mengaku budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat pesisir di Kecamatan Kupang Barat termasuk masyarakat Desa Lifuleo. Rumput laut yang dibudidayakan terdapat 2 jenis yaitu Kappaphycus alvarezii dikenal dengan nama Eucheuma cottonii atau nama lokal “cottonii” dan kappaphycus striatum dikenal dengan nama lokal “sakol”.

Lima desa penghasil rumput laut lainnya adalah Desa Bolok, Kuanheum, Oenaik, Tesabela dan Desa Tablolong sehingga produksi rumput laut dari Kecamatan Kupang Barat dalam setahun bisa mencapai 500 ton. Rumput laut jenis sakol inilah yang sedang dominan dibudidayakan dan dikombinasikan dengan metode budidaya sistem Long line. Metode budidaya ini paling banyak digunakan karena lebih mudah diterapkan dan tidak membutuhkan modal biaya yang besar.

Menurut Yusak Ulin, budidaya rumput laut cukup mudah karena hanya mengandalkan lingkungan perairan laut. Namun, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi pembudidayaan rumput laut, antara lain bukan merupakan jalur pelayaran dan pariwisata, tidak dekat dari area pembuangan limbah pabrik atau kapal, perairan cukup tenang, dan kedalaman tidak bisa kurang dari 70 cm saat surut dan tidak lebih dari 200 cm saat pasang.

"Yang perlu diperhatikan yaitu lokasi memiliki sediaan rumput alami, lokasi harus didukung dasar perairan berlumpur atau sedikit berpasir, terdapat pecahan karang, serta perairannya temasuk kategori subur dengan didukung nilai kualitas air yang optimal," jelas Yusak.

Ia menyebut pengelola unit usaha budidaya rumput laut di NTT hampir seluruhnya adalah usaha rumah tangga nelayan. Keluarga nelayan diantara suami dan istri adalah pengelola usaha budidaya rumput laut sekaligus pekerja, bahkan anak-anaknya sering dilibatkan baik pada sore hari dan hari saat libur sekolah.

Lifuleo Sebagai Desa Ekowisata

Upaya menjaga kelestarian kawasan pesisir dan laut di Desa Lifuleo Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah dilakukan melalui peraturan desa (perdes). Secara tegas di dalam perdes ini termuat larangan dan sanksi adat bagi masyarakat yang melanggarnya.

"Selama ini memang berlaku hukum adat dalam menjaga kawasan pesisir dan laut di Desa Lifuleo. Namun kini sudah kita tuangkan dalam perdes dan mulai berlaku sejak 2018 lalu. Upaya penyelamatan kawasan pesisir dan laut ini setelah Pantai Oesina di Desa Lifuleo ditetapkan sebagai kawasan ekowisata," kata Yusak Ulin.

Keterangan Foto: Petani rumput laut, Dodi Musu dibantu istri bersama anak-anak sementara panen rumput laut di Pantai Oesina, Rabu (20/10/2021).

Menurut Yusak Ulin, Peraturan Desa Lifuleo Nomor 4 tahun 2016 tentang Sistem perlindungan dan pemanfaatan kawasan ekowisata berbasis masyarakat secara tegas memberikan larangan dan sanksi. Salah satu larangan dalam perdes adalah larangan menangkap ikan atau biota laut menggunakan bahan peledak,racun, potasium, tuba dan zat kimia lainnya.

Larang lainnya kata Yusak, adalah mengambil, menangkap dan mengganggu habitat penyu di dalam kawasan pesisir atau laut Lifuleo. Larangan mengambil pasir laut kecuali masyarakat Desa Lifuleo dengan syarat hanya "3 reet per kepala keluarga (KK) dalam setahun setelah mendapat ijin dari pemerintah desa.

"Pelanggaran terhadap larangan ini dikenai sanksi adat berupa denda uang tunai senilai Rp 2,5 juta dan satu ekor babi seharga Rp 4 juta serta beras 50 kilogram," katanya.

Ia menambahkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut di Desa Lifuleo yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) beranggotakan 40 orang. Namun sejauh ini, belum ada warga Desa Lifuleo yang melakukan pelanggaran terhadap perdes karena memang sebelumnya diberlakukan melalui hukum adat. Perdes ini bukan hanya berlaku bagi warga Desa Lifuleo namun juga warga dari luar.

Ia menyebut kawasan konservasi memiliki tiga aspek utama yaitu pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan. Kehadiran ekowisata berbasis konservasi dapat memeberikan manfaat ekologis, ekonomi dan sosial bagi masyarakat setempat.

Menurut Yusak, pengembangan kawasan konservasi periaran merupakan sebuah upaya untuk mengimbangkan fungsi antar ekologis, ekonomi dan sosial yang terdapat pada kawasan perairan, sehingga dapat dikelolah berkelanjutan bagi kepentingan masyarakat dan pembangunan.

Desa Lifuleo kata dia, merupakan salah satu desa yang mencoba untuk menerapkan upaya keseimbangan tersebut dengan mengembangkan ekowisata berbasis konservasi kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Bengkel APPeK dengan The Nature Conservancy (TNC).

Hal ini kata dia, sejalan dengan amanat Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang memberikan perlindungan bagi hak-hak adat.

"Namun begitu, aturan-aturan adat yang sudah diberlakukan di Rote ini jauh lebih baik dan lebih efektif sehingga persoalan-persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam dapat terselesaikan," ujarnya.

Sebelumnya pengamat hukum lingkungan hidup dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof. Jimmy Pello mengatakan hampir seluruh wilayah perairan NTT Timur rawan terhadap aksi pemboman ikan yang dilakukan oleh para nelayan. "Jika ingin mewujudkan sebuah wilayah perairan yang aman dan bebas dari aksi pemboman ikan maka langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah membangun kerja sama dengan semua pihak," kata Jimmy Pello.

Ia mengatakan kerja sama tersebut harus dibangun mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah secara berjenjang dalam upaya menanggulangi aksi kejahatan di laut tersebut.

Untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem dan lingkungan laut akibat aksi pemboman ikan tersebut, bukan hanya tugasnya aparat keamanan (TNI-AL) dan Kepolisian Air semata, tetapi tugas semua pihak. Menurut dia, guna mendukung langkah-langkah tersebut pemerintah daerah perlu membuat regulasi yang mengatur tentang larangan menangkap ikan dengan cara membom serta sanksi hukum bagi para tersangka pelakunya.

Berdasarkan catatannya, kata dia, sepanjang tahun 2015-2016 terdata kurang lebih 20-an titik lokasi di NTT yang rawan terhadap aksi pengemboman ikan. Namun masalah pemboman ikan di perairan NTT tegas dia, hingga saat ini belum bisa diselesaikan karena minimnya fasilitas yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan Perikanan serta Polair dan TNI-AL untuk mendukung kegiatan operasional di lapangan. ***

FOLLOW US