• Nusa Tenggara Timur

Aroma Busuk Dugaan Mafia Peradilan Merebak di PN Kupang Terkait Kasasi Karyawan Timex

Semy Andy Pah | Selasa, 05/10/2021 11:26 WIB
Aroma Busuk Dugaan Mafia Peradilan Merebak di PN Kupang  Terkait Kasasi Karyawan Timex Ketua PN Kelas IA Kupang, Dju Johnson Mira Manggi, SH, MH.


katantt.com--Aroma dugaan mafia peradilan di lembaga Pengadilan Negeri Kupang dalam kasus kasasi Sabarudin Mahmud mulai merebak, pasca pemutusan hubungan kerja terhadap jurnalis harian Timor Express, Obed Gerimu di masa pandemi Covid-19.

Bagaimana tidak! Upaya kasasi ke Mahkamah Agung sejak 2017 silam, dalam perkara hubungan hubungan industrial antara Sabarudin Mahmud melawan PT Timor Express Intermedia justru diduga tersimpan manis di PN Kupang selama empat tahun.

Fakta ini terungkap sesuai surat dari Mahkamah Agung ( MA) RI tertanggal 27 September 2021 yang ditujukan kepada Ketua PHI Kupang.

Dalam surat itu, MA RI menyampaikan bahwa terdapat kekurangan dalam berkas perkara yang baru saja diterima.

"Sehubungan dengan diterimanya oleh Mahkamah Agung RI, berkas permohonan Kasasi perkara PHI No. 13/Pdt.Sus-PHI/2016/PN. Kpg dalam perkara antara PT Timor Ekspress Intermedia melawan Sabarudin Mahmud yang dikirim ke MA RI, melalui Surat Pengantar tanggal 13 Juni 2017 No. W-26-U1/899/PHI.04.10/VI/2017, maka dengan ini diberitahukan bahwa perkara tersebut setelah ditelaah ternyata terdapat kekeliruan, yaitu: Surat Kuasa Pemohon Kasasi tertanggal 2 Desember 2016 (seperti tercantum pada memori kasasi) tidak terlampir. Sofcopy tanda terima memori Kasasi dan kontra memori kasasi tidak terlampir. Berkenan dengan hal tersebut di atas, mohon dalam waktu 14 hari setelah diterimanya surat ini mengirimkan perbaikan tersebut kepada Mahkamah Agung RI. Demikian untuk diperhatikan," demikian isi surat MA RI Nomor: 380/PAN/HK.03/Pkr/IX/983.KP/PHI/2021 perihal kelengkapan berkas perkara Kasasi PHI No.13/Pdt.Sus PHI/2016/PN.Kpg yang ditanda tangani olrh Panitera Muda Perdata Khusus, Dr H Haswandi, SH,SE,MHum, MM.

Surat ini ditembuskan kepada Panitera MA RI, Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, PT Timor Ekspress Intermedia, dan Sabarudin Mahmud.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA RI, Dr. H. Sobandi, SH, MH, yang dikonfirmasi wartawan, Senin (4/9/2021), mengatakan, berkas perkara kasasi dimaksud baru diterima MA pada 21 September 2021.

"Kami menduga berkas itu disimpan di PN Kupang selama 4 tahun. MA akan menyurati Ketua Pengadilan Tinggi Kupang dan PN Kupang untuk memeriksa dan mengevaluasi persoalan ini," tegas Sobandi.

Menurut Sobandi, berkas perkara ini baru diterima setelah persoalan ini ramai diberitakan di media massa.

"Laporkan saja ke Ketua PN dan Ketua Tinggi supaya diperiksa dan dilakukan pembinaan," kata Sobandi lagi dengan suara meninggi.

Sobandi mengaku belum mengecek kebenaran surat MA yang dikirimkan ke pengacara Sabarudin Mahmud.

"Saya belum cek. Kepala PN Kupang sedang melakukan pemeriksaan. Belum tentu palsu (surat MA ke pengacara Sabarudin Mahmud). Percayakan kepada pengadilan untuk melakukan pemeriksaan," tandasnya.

Sementara Ketua PN Kelas IA Kupang, Dju Johnson Mira Manggi, S.H, M.H., saat dikonfirmasi, mengaku telah membentuk tim untuk memeriksa persoalan ini.

"Kami ada bentuk tim untuk lacak dan periksa, kenapa sampai seperti ini. Kami juga terkejut kemarin dapat kabar seperti itu, karena saya sudah periksa administrasi pengiriman pos ada ekspedisinya. Tapi kenapa berkas baru sampai, itupun belum seluruhnya. Maka ada dibentuk tim untuk melacak dan periksa," kata Johnson.

Panitera Muda PHI Kupang, Yaret Sungkono, SH., yang dikonfirmasi, juga mengatakan, pada surat pengantar yang dikirimkan, dia sudah melampirkan tanda terima pos di tahun 2017 untuk pengiriman.

"Jadi kalau diendap di PN Kupang tidak mungkin, karena tanda terima posnya sudah ada di tahun 2017," jelas Yaret.

Dia melanjutkan, sejak dirinya masuk ke PHI Kupang pada bulan Juli 2021, Panmud yang lama telah melaporkan kendala berkas tersebut.

Untuk itu dia lalu menyurati MA guna menanyakan terkait berkas tersebut dan tembusannya disampaikan ke pengacara para pihak.

"Dalam surat ada lampiran tanda terima pos, surat pengantar dan ada surat di tahun 2020 menanyakan berkas tersebut," jelas dia.

Terpisah, Martinus Lau, SH., selaku pengacara Sabarudin Mahmud, saat dikonfirmasi, mengatakan, dirinya siap memenuhi permintaan MA RI sesuai surat yang telah diterimanya tersebut.

"Saya sudah siapkan apa saja yang diminta MA RI dalam suratnya. Segera kita serahkan," kata Martinus Lau, Senin (4/9/2021).

Menurut Martinus yang juga mantan jurnalis di Kupang itu, saat memasukan berkas kontra memori kasasi ke PHI, sudah dilakukan pemeriksaan kelengkapannya, sehingga sangat disayangkan jika setelah 4 tahun baru disampaikan bahwa terdapat kekurangan.

"Apakah berkas-berkas yang disebutkan menjadi kekurangan itu hilang di jalan, saya belum tahu. Intinya sekarang kami penuhi dulu permintaan MA dalam surat tertanggal 27 September itu," tambahnya.

Untuk diketahui, majelis hakim pada PHI Kupang dalam amar putusannya telah mengabulkan gugatan Sabarudin Mahmud dengan hak-hak yang harus dibayarkan PT TEI sebesar Rp 83 juta lebih.

Sabarudin Mahmud dan PT TEI pun melakukan upaya hukum kasasi ke MA RI sejak tahun 2017 dan hingga kini belum ada putusannya.

Martinus Lau, SH., selaku penasehat hukum Sabarudin Mahmud telah melayangkan surat ke MA guna mempertanyakan proses kasasi perkara tersebut.

Mahkamah Agung RI dalam surat balasannya kepada Martinus Lau, memberitahukan bahwa perkara tersebut belum diterima maupun terdaftar di Mahkamah Agung RI.

"Sehubungan dengan surat saudara Martinus Lau, SH., tanggal 20 Mei 2021 Nomor 01/KH-TK/PHI/V/2021 perihal sebagaimana tercantum pada pokok surat. Setelah meneliti dan mempelajari permasalahannya, dengan ini memberitahukan bahwa perkara tersebut belum diterima maupun terdaftar di Mahkamah Agung RI," demikian penjelasan surat MA RI Nomor 346/Pan.3/Pkr/IX/2021 tanggal 1 September 2021 perihal status hukum putusan perkara 13/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Kpg yang ditandatangani Panitera Muda Perdata Khusus, Dr. H. Haswandi, SH.,SE.,M.Hum, MM.

Surat ini juga ditembuskan sebagai laporan kepada Ketua MA RI, Wakil Ketua MA RI Bidang Yudisial, Ketua Kamar Perdata MA RI, dan Panitera MA RI.

Sementara, Panitera Muda PHI Kupang juga telah menyurati Panitera Mahkamah Agung RI.

Surat Nomor: W.26 U/3208/PHI.04.10/IX/2021 tanggal 13 September 2021 perihal mohon bantuan informasi lima perkara PHI pada Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA yang dimohonkan kasasi.

Dalam surat ini, PHI Kupang memohon informasi terkait lima perkara PHI yang telah dikirimkan ke MA RI karena adanya upaya hukum kasasi.

Termasuk di dalamnya adalah perkara dengan pemohon kasasi PT Timor Ekspress Intermedia, dan termohon kasasi Sabarudin Mahmud.

Sementara, pengamat hukum, Mikhael Feka, SH.,MH., menilai dengan surat pemberitahuan dari MA RI tersebut, maka perkara Sabarudin Mahmud telah memiliki kekuatan eksekutorial.

"Setelah 14 hari pasca putusan majelis hakim di PHI Kupang, apabila perkara itu tidak dikirim ke tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI maka sudah inkracht dan harus dieksekusi," kata Mikhael.

Ia melanjutkan, jika pemohon atau termohon telah mengajukan kasasi namun perkaranya tidak tercatat atau teregistrasi di Mahkamah Agung RI, maka harus dilaporkan ke Komisi Pengawasan MA RI agar melakukan pengawasan terhadap hal tersebut.

Jika MA RI menyatakan bahwa perkara tersebut tidak dipernah diterima dan teregistrasi maka secara otomatis perkara itu telah berkekuatan hukum tetap.

"Apabila berdasarkan surat MA bahwa perkara tersebut tidak teregistrasi kasasinya maka penasehat hukum dari Sabarudin Mahmud dapat mengajukan permohonan eksekusi. Artinya perkara itu hanya sampai di tingkat pertama saja dan tidak ada upaya hukum lanjutan. Apalagi perkaranya dari tahun 2017, maka sudah harus dinyatakan inkracht sehingga dapat dilakukan eksekusi sesuai amar putusan PHI Kupang karena telah memiliki kekuatan eksekutorial," jelas Mikhael Feka.

"Kalau MA tidak pernah terima maka kasus itu sudah inkracht apalagi dari 2017 maka harus dieksekusi putusan PHI dan apabila pihak Timex merasa dirugikan karena upaya hukumnya tidak dikirim oleh kepaniteraan PHI maka silahkan lapor ke MA untuk proses mereka secara etik atau disiplin ASN di lingkup MA. Silahkan TIMEX ajukan keberatan tapi proses administrasi tidak menghalangi eksekusi terhadap putusan yang sudah inkracht," sambung dia.

Sementara itu, Martinus Lau, SH., yang diwawancarai, mengaku telah menyurati Mahkamah Agung RI untuk mengecek sejauh mana proses Kasasi perkara kliennya.

"Berkas perkara untuk Kasasi telah dikirimkan sejak tahun 2017, namun hingga saat ini belum ada putusannya. Saya sudah dua kali mengecek ke Mahkamah Agung," kata Marthen.

"Saya sudah melakukan pengecekan, dan kelihatannya apakah berkas ini dikirim dan tertimbun di Mahkamah Agung, ataukah dipermainkan oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang, itu kami belum tahu pasti. Tapi yang jelasnya adalah upaya yang terakhir saya akan ajukan permohonan eksekusi, sehingga bisa diketahui ini masalahnya apa dan dimana," lanjut dia.

Menurut Marthen, dirinya di awal bulan September 2021 akan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Kupang.

Alasannya, lanjut Marthen, karena sesuai resi pengiriman berkas dari pemohon Kasasi yaitu PT Timor Ekspress Intermedia yang diberikan oleh Panitera kepada pihaknya, bahwa berkasnya sudah dikirim ke Mahkamah Agung RI.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam sistem online Mahkamah Agung RI yang saat ini menjadi hal yang umum dan mudah diakses oleh publik kapan saja, perkara ini menurut dia tidak terdaftar sebagai perkara Kasasi.

"Sementara saya sudah bersurat kepada Mahkamah Agung dengan tembusannya Ketua Pengadilan Negeri Kupang. Sudah surati dua kali, sampai sekarang belum dijawab. Entah kemana perkara itu, tapi Panitera Muda PHI menyatakan bahwa berkas itu sudah dikirim dengan berkas lain. Jadi dia sama-sama dikirim dengan berkas lain, yaitu berkas kasasi dari perkara lain di PHI juga," urai Marthen.

"Perkara klien dari rekan advokat Paulus Seran Tahu juga mengalami nasib yang sama. Sampai sekarang belum turun putusan," sambung dia.

Dari tenggang waktu ini, Marthen mempertanyakan proses Kasasi yang menurutnya terlalu lama.

"Ini koq seperti kembali ke tahun 1945 begitu. Padahal akses ke Mahkamah Agung sekarang ini sangat mudah dan transparan. MA kan sekarang ini ada banyak program, ada eCourt dan lainnya. Jadi semua perkara diperlancar tapi koq bisa jadi begini," kritik Marthen.

"Saya dari perkara lain itu dikirim paling lambat 6 bulan sudah turun putusan. Itu sudah paling lambat, terkadang hanya satu bulan sudah dapat pemberitahuan dari Mahkamah Agung bahwa berkas sudah dikirim dan diterima dan register perkaranya nomor sekian-sekian," sambung mantan jurnalis senior di Kupang itu.

Marthen juga merasa aneh, karena perkara kliennya itu dikirim mendahului permohonan Kasasi yang dia ajukan sendiri dengan klien Nurbaya yang juga mantan karyawan PT Timor Express Intermedia yang diberikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Ibu Nurbaya hanya 6 bulan tenggang waktunya langsung turun putusan. Tapi Sabarudin yang dikirim oleh PN terdahulu tidak muncul sampai sekarang," ungkap Marthen sembari menambahkan jika pada bulan Mei lalu dirinya sudah dua kali menyurati Pengadilan namun tidak pernah dijawab.

Marthen Lau, kembali menegaskan, melalui PHI Kupang, dirinya terus mengecek perkembangan proses perkara kliennya di tingkat Kasasi.

"Saya terus koordinasi dengan PHI untuk mengecek perkembangan perkara klien saya. Besar harapan, hak-hak klien saya cepat dibayar sesuai putusan hakim PHI," harapnya.

Diberitakan sebelumnya, manajemen PT TEI sebagai perusahaan penerbit harian Timex kini disorot publik lantaran dinilai kerap bertindak sewenang-wenang terhadap karyawannya.

Tidak sedikit karyawan yang sudah diberhentikan tanpa menerima hak-hak yang sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Adalah Sabarudin Mahmud, mantan karyawan PT Timor Ekspress Intermedia yang mengungkap perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan anak perusahaan Jawa Pos Group di Kupang itu.

Udin, demikian pria 57 tahun itu biasa disapa, kepada wartawan di Kupang, membeberkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh manajemen PT TEI yang kini diawaki Direktur Utama Sultan Eka Putra dan Direktur Haerudin.

Udin yang selama 12 tahun, 2 bulan bekerja sebagai tenaga sekuriti PT TEI diberhentikan tanpa alasan yang jelas pada 1 April 2016.

Saat diberhentikan, Udin mengaku hak-hak sebagai karyawan tidak diberikan sepeser pun.

"Saya diberhentikan secara mendadak. Waktu itu saya sangat kaget, karena tidak ada pelanggaran atau kesalahan yang saya buat. Tiba-tiba saja Manajer Tata Usaha pak Deny Missa antar surat pemberhentian ke rumah saya," ungkap Udin di Kupang, Minggu (29/8/2021) petang.

Tidak terima diperlakukan demikian, Udin pun mengadukan persoalan pemberhentian dirinya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kota Kupang.

Dinas Nakertrans, lanjut Udin, sekira sebulan kemudian barulah mengeluarkan surat panggilan kepada para pihak untuk mediasi.

Selanjutnya, dilakukan mediasi di kantor Dinas Nakertrans sebanyak tiga kali. Dalam mediasi tersebut, Nakertrans juga menghitung besaran hak-hak yang harus dibayarkan oleh PT TEI.

"Saat itu Nakertrans hitung hak-hak saya totalnya Rp 22 juta. Manajemen Timex saat itu juga sepakat dan siap membayar. Namun hal itu hanya janji belaka," beber Udin.

Menurut ayah lima anak itu, setelah mediasi di Nakertrans, Udin kemudian mendatangi kantor PT TEI untuk mengambil hak-hak yang sudah disepakati di Nakertrans.

Namun manajemen PT TEI ternyata ingkar janji, dan malah berencana memberikan hak Udin cuma sebesar Rp 10 juta.

"Sampai di kantor Timex, mereka ternyata mau kasih hak saya hanya Rp 10 juta, dengan ancaman jika tidak mau terima, silahkan saya gugat di Pengadilan. Saat itu saya dengan tegas menolak tawaran itu dan menyatakan akan menggugat ke Pengadilan," ungkap Udin yang kini bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya.

Pada 8 November 2016, Udin memberikan kuasa kepada Pos Bakum Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang yang dipimpin advokat A. Luis Balun, SH., dan kemudian melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Kupang dengan total tuntutan hak-hak sebesar Rp 87 juta.

Sebelum sampai ke persidangan, majelis hakim PHI sempat membuka ruang mediasi namun tidak menemukan kesepakatan.

Manajemen PT TEI saat mediasi di PHI, tetap tidak mau melaksanakan kesepakatan sesuai hasil penghitungan Nakertrans, sehingga kasus ini dilanjutkan ke tahap persidangan.

Setelah menjalani lima kali persidangan, pada Desember 2016, majelis hakim memutuskan mengabulkan gugatan Udin sebagai pemohon dengan hak-hak yang harus dibayarkan PT TEI sebesar Rp 83 juta lebih.

Terhadap putusan ini, manajemen PT TEI melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.

Berkas perkara kasasi PHI Nomor 13/Pdt.Sus-/PHI/2016/PN.Kpg dikirimkan ke Mahkamah Agung RI tanggal 13 Juni 2017 sesuai surat PHI ditandatangani Panitera Sulaiman Musu, SH., yang tembusannya juga diterima Udin sebagai termohon Kasasi.

Udin mengaku, pemberhentian dirinya sebagai karyawan PT TEI telah berdampak besar terhadap psikologi dan juga kondisi ekonomi keluarganya.

"Saat pemberhentian itu, dua anak saya terpaksa putus sekolah. Saya sangat berharap hak-hak saya sebagai pekerja yang diberhentikan sepihak segera dibayar sesuai putusan Pengadilan," harap Udin.

"Apalagi saya diberhentikan tanpa kesalahan dan pelanggaran, dan tanpa satu pun teguran lisan maupun surat peringatan," lanjut dia.

Udin juga berharap PT TEI harus menaati aturan hukum yang berlaku dan mengedukasi publik dengan membayar hak-hak karyawan yang diberhentikan, dan bukan mempertontonkan perbuatan melanggar hukum.

 

 

FOLLOW US